Magali, Siang Hari (versi cerita)
Matahari tepat di atas kepala ketika aku tiba di Magali, sebuah rumah makan di daerah Fatmawati. Kulirik jam di pergelangan tanganku, jarum panjang dan pendek sama-sama menunjuk ke atas, yang berarti tepat jam 12. Hmm…semoga kali ini aku tidak terlambat. Doaku dalam hati mengingat setiap janji bertemu dengan Radya, aku selalu tidak tepat waktu.
Kuparkir mobil lalu bergegas masuk ke dalam. Tak kulihat sosok Radya di sana, mungkin dia sedang dalam perjalanan, jam 12 juga baru beberapa menit lalu. Magali belum begitu ramai, baru beberapa meja yang terisi. Kupilih meja di sudut ruangan dekat tangga yang kebetulan kosong, agar pandanganku bebas ke mana saja dan tentu saja agar aku bisa melihat kedatangan Radya.
Kupesan minuman untuk mengisi waktu menunggu Radya. Setelah dia datang, baru kami akan memesan makan siang. Tak berapa lama pelayan mengantarkan pesananku. Kopi hitam tanpa gula dengan cangkir keramik warna coklat tua. Entahlah, akhir-akhir ini aku semakin kecanduan dengan serbuk hitam bernama kopi.
Ku reguk kopiku perlahan, pandanganku kualihkan ke seluruh ruangan. Ada sepasang muda-mudi duduk di dekat pintu masuk, mereka asyik bercengkerama tertawa, kadang terkikik disiang yang terik. Sepertinya mereka sedang dimabuk asmara, tangan mereka tak pernah lepas satu dengan lainnya. O, betapa indah dunia.
Lalu mataku beralih ke meja sebelahnya, Ada tiga orang bapak-bapak berdiskusi sambil sesekali meminum lemon tea, mereka tampak lelah dengan wajah-wajah payah. Mungkin mereka sedang membicarakan bisnis, masa depan perusahaan atau entahlah aku tak tahu pasti. Hanya kadang kulihat seseorang dari mereka mencorat-coret agenda seperti menulis sesuatu atau bisa jadi sedang menghitung untung rugi.
Di sebelah mejaku, seorang ibu berjilbab mengunyah makan siangnya dengan lahap, sesekali terdengar denting sendok beradu dengan piring. Kulihat menu makannya sederhana, nasi rames ala Magali plus es teh manis, tapi sepertinya ia sangat menikmatinya. Mungkin ini yang dinamakan hidup tanpa beban, yang terasa hanya kenikmatan, tak terkecuali saat makan.
Lima belas menit berlalu, Radya belum tampak dalam pandanganku.
Lalu aku beralih ke deretan foto-foto yang terpajang di sepanjang dinding. Wajah-wajah di dalamnya sangat ekspresif sekali, ada yang tersenyum, tertawa bahkan diam dengan tatapan tajam. Semua pasang mata dalam pigura itu seperti tertuju padaku, seakan bertanya siapa yang aku tunggu. Jengah dengan tatapan itu, pandanganku beralih pada meja di depanku.
Ada vas bunga dengan setangkai mawar merah muda di atas meja. Ada asbak berbentuk dadu menanti puntung rokok yang akan berubah abu. Ada secangkir kopi tanpa gula yang setia tanpa pernah bertanya.
Dan tiga puluh menit berlalu, tapi Radya belum muncul juga. Tak biasanya dia terlambat begini lama. Atau mungkin dia lupa. Aku mulai gelisah. Tangan kananku menari-nari di bibir cangkir. Kureguk kopiku yang tak lagi panas hingga tandas. Tiba-tiba…
Praaanng!!!
Cangkir yang ku pegang terlepas, kurasakan tiba-tiba tubuhku lemas. Hatiku diliputi rasa cemas. Was-was.
***
Siang begitu terik, panas matahari menyengat kulitku. Ubun-ubun kepalaku kurasakan seakan mendidih. Kularikan motorku dengan kencang ke arah Fatmawati, ke Magali tempat pertemuanku dengan Kanthi. Seharusnya saat ini aku sudah sampai di sana, kalau tidak ada kejadian pecah ban di Senen tadi. Terpaksa aku harus mendorong motorku sampai ke tambal ban terdekat dan sialnya lagi tempat itu ramai, jadi aku harus mengantri cukup lama sampai giliran motorku diperbaiki tiba.
Sampai perempatan H. Nawi, lampu merah yang biasanya cuma dua menit langsung berubah hijau kurasakan lama sekali berganti warna. Sementara tanganku mulai gelisah memegang setang motor dan memain-mainkan gas. Mataku tak henti-hentinya menatap tiga bulatan lampu di sisi kiri jalan. Merah, kuning dan…… hijau. Langsung kutancap gas motorku, tak kuperdulikan lagi jarum spedometer yang merangkak tajam. Aku harus cepat tiba di sana. Kanthi, aku tak akan membuatmu terlalu lama menunggu.
Patung kuda sudah terlewati, aku bersyukur dalam hati, sebentar lagi pasti aku sampai di Magali. Sampai pertigaan D’best rambu masih kuning, semakin ku laju motorku berpacu dengan rambu jalan yang mungkin sedetik lagi akan berubah merah. Tiba-tiba dari arah Cipete Raya, Corolla Altis silver masuk ke jalur kiri. Tak ayal, spontan aku menekan rem secara mendadak, tapi sepertinya terlambat.
Braaaakkk!!!
Kudengar suara benturan menggema di telingaku. Kurasakan tubuhku melayang sebelum akhirnya menyentuh aspal. Kulihat motorku tergeletak tak jauh dariku, roda depannya masih berputar-putar. Mobil yang kutabrak berhenti dan seorang wanita keluar dari dalamnya. Tubuhnya gemetar dan tampak panik. Sempat kurasakan sesuatu mengalir deras melewati ekor mataku dan beberapa benda runcing menusuk punggungku, jari-jari tangan dan kakiku mulai kebas, lalu menjalar ke seluruh tubuhku… mataku memejam tenang sebelum akhirnya mati rasa. Tapi sedetik kemudian aku teringat Kanthi. Ohh tidak, aku pasti terlambat.
Aku bangkit dan mendekati motorku, tapi sepertinya tidak bisa aku pakai karena ringsek di sana sini. Magali tinggal beberapa ratus meter lagi, kuputuskan saja untuk berlari. Tak kuperdulikan orang-orang yang mulai berkerumun mengelilingiku. Aku menerobos di antara himpitan tubuh-tubuh yang penasaran melihatku.
Aku berlari sekuat tenaga. Ahhh, kurasakan tubuhku melayang tanpa beban. Lebih ringan daripada saat aku harus menjaga keseimbangan saat melaju di atas motorku. Sudah dekat. Kulihat di kejauhan Honda Jazz merah metalik dengan seorang perempuan berdiri di dekatnya. Itu Kanthi. Ooh tidak, aku terlambat. Dia sudah terlalu lama menungguku. Maafkan aku. Aku berlari semakin kencang dan akhirnya tiba di sana. Aku berhenti sejenak, mengatur nafas.
Kanthi bersandar di body mobilnya. Tangan kanannya mengenggam ponsel, berulang kali dia menekan keypad dan menelpon seseorang. Aku sudah di sini sayang, untuk apa kau menelepon, lalu aku menghambur ke arahnya. Kurengkuh dia dan kuusap rambutnya. Aku di sini, aku sudah di sini, kukecup keningnya dan kuusap lembut pipinya. Tapi, tunggu…apa yang terjadi padaku. Aku tak bisa memegangnya, seperti dalam ruang hampa. Semua begitu nyata di hadapanku, tapi aku tak mampu merasakannya. Tanganku tak bisa menyentuhnya. Sementara Kanthi masih gelisah, berulang kali tangannya me-redial ponselnya, sampai akhirnya terdiam. Bingung. Dia tak bisa melihatku, padahal aku tepat di hadapannya. Merengkuhnya.
****
“Mbak tidak apa-apa?” Suara pelayan membuyarkanku. Spontan aku berdiri. Sadar atas apa yang baru saja terjadi. Kulihat pecahan-pecahan keramik dan sisa ampas kopi berserakan di lantai. Pelayan dengan cekatan membersihkan semuanya.
“Maaf, mestinya hal ini tidak perlu terjadi.” Ucapku gugup, lalu berusaha ikut membantu.
“Nggak usah mbak. Biar saya saja. Sudah menjadi pekerjaan saya,” ucapnya sambil tersenyum, “mungkin mbak bisa pindah duduk di sebelah sana.” Tangannya menunjuk ke meja sebelah yang sudah kosong.
“Terima kasih, nanti minta tolong bill-nya ya, sekalin kerugian ini dimasukkan.” Lalu aku bergeser ke meja sebelah. Duduk dengan gelisah. Mungkin Radya memang tidak bisa datang, dan sebaiknya aku pulang. Sementara pelayan itu sudah selesai membersihkan akibat kekacauanku tadi. Aku masih tak juga mengerti kenapa semua itu bisa terjadi. Pertanda apakah ini.
Sesaat kemudian, pelayan tadi menghampiriku, lalu menyodorkan bill padaku. Kulihat sebentar lalu kukeluarkan selembar uang limapuluhribu rupiah dari dompet hitamku dan kuletakkan di meja. Lalu aku cepat-cepat beranjak ke luar, setelah mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf atas kejadian tadi.
Sampai di pintu keluar, angin siang menampar mukaku. Panas. Debu terlihat seperti menari mengikuti kemana angin akan pergi. Kulihat sepanjang jalan mobil-mobil mengantri, macet. Aku jadi ragu untuk pulang. Mungkin aku akan menunggu Radya sebentar lagi, sambil menunggu jalan lancar kembali, putusku.
“Ada apa Pak, kok tumben jalanan macet begini?” tanyaku pada bapak petugas parkir yang berdiri tak jauh mobilku. Penasaran.
“Anu neng, katanya di pertigaan D’best ada kecelakaan. Motor tabrakan sama mobil. Kata orang-orang yang barusan lewat, yang naik motor meninggal.” Kata si bapak.
Innalillahi. Pikiranku semakin tertuju pada Radya, dia juga sedang dalam perjalanan ke arah sini, semoga dia bukan yang mengalami kecelakaan. Mungkin dia terjebak macet, hiburku dalam hati. Hmm…lebih baik aku meneleponnya, memastikan tidak terjadi apa-apa dengannya.
Kukeluarkan ponsel dari tas. Kutekan angka-angka yang sudah hapal di luar kepala. Ada nada sambung, tapi tidak diangkat. Kucoba beberapa kali, tapi tak juga diangkat. Radya, kamu di mana?
Sia-sia aku meredial berulang kali. Nadanya masuk tapi tak terjawab dan akhirnya mati sendiri.
tut..tut..tut..tut…
Aku semakin resah. Gerah yang kurasa tersamarkan oleh rasa gelisah. Tiba-tiba angin mendesir perlahan. Aneh. Padahal terik begini. Dan seperti ada yang menghembus nafas sangat pelan di sekitar wajahku. Aku seperti merasakan kehadiran seseorang, yang sayangnya tak terlihat olehku. Seperti sesuatu yang tak kasat mata. Radya… Kaukah itu?? Aku masih di sini, menunggu datangmu.
*****
Jakarta 2009
Catatan :
*Magali : tempat makan di Fatmawati
*nama-nama tokoh ambil dari nama wayang : Radheya/Karna (Radya) & istrinya Surtikanti (Kanthi)
0 komentar:
Posting Komentar