09 Juli 2009

Kesetanan (full version)

1
“Maafkan aku Ayah, aku terpaksa melakukan ini.” Ucapku seraya menghujamkan pisauku tepat ke jantungnya. Seketika darah segar muncrat dari dadanya. Tubuhnya terjengkang dan untuk sejenak mengejang kemudian tenang. Mungkin nyawanya sudah hilang, terbang. Aku tersenyum penuh kemenangan. Puas.

Sementara itu di sudut kamar, ibu tiriku berdiri mematung, terpana melihatku. Pucat. Ahh, makin cantik saja, tatapku nyalang.

“Akhirnya tak ada yang menghalangiku lagi.” Ucapku lalu menghampiri ibu tiriku yang masih terpaku.

“Kau pikir aku cemburu? Tidak!! Aku hanya tidak rela tubuhmu dinikmati olehnya.” Pekikku seraya memandang jijik wajah ayah yang tak bernyawa.

“Don, kumohon…” pintanya memelas

“Memohon apa? Kau ingin aku membunuhmu juga?” tanyaku, “Hmm, sedang kupikirkan caranya agar kau merasakan sakitnya hatiku karena telah mengacuhkanku.”

Aku diam sejenak. Ibu tiriku mulai terisak.

“Ahh, tentu tidak sayang, aku tidak setega itu,” ucapku melembut. Kubelai pipinya yang kencang, lalu jemariku menari menyusuri lehernya yang jenjang.

“Don, jangan lakukan ini padaku. Donita kumohon…”.

Kubungkam bibirnya yang ranum dengan cium, kulumat penuh kesumat. Ibu tiriku berontak, darahku menggelegak. Isak yang menyesak membuat birahiku semakin memuncak.

“Donita, kumohon….”

Kutatap mata ibu tiriku yang sembab. Aku terdiam sesaat.

“Aku takkan melukaimu asal kau menurut padaku,” ucapku dingin seraya mendorongnya ke ranjang.

“Tapi…”

“Sudahlah, kau milikku sekarang.” Kataku lalu kuciumi ibu tiriku membabi buta dan kujelajahi setiap lekuk tubuhnya. Tak kuperdulikan mayat ayahku yang teronggok kaku di dekat pintu.

Kurasakan sensasi kesetanan kala bibirku berpagut mesra dengan rintihnya, nafasku menderu senada detak jantungnya dan aliran darahku sederas lelehan airmatanya, bergulat peluh, berpacu desah, beradu irama hingga kata tak lagi bermakna dan suara tak lagi berjiwa.

“Arrrghhhhhh……”

Hatiku gemas, tangannya kuremas, tubuhku terkulai lemas, dan mulutku menyeringai puas. Kesetanan.

****

2
“Tok… tok…”

Suara ketukan membuatku tersentak. Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Kulihat ibu tiriku tergolek kelelahan. Telanjang. Aku tersenyum penuh hasrat melihatnya. Kukecup lembut bibirnya.

“Tok… tok…”

Ketukan itu terdengar lagi.

“Siapa sih yang datang malam-malam begini.” gerutuku sebal seraya bangkit dan berpakaian lalu keluar, melewati mayat ayahku yang masih tergeletak di lantai kamar.

“Tok… tok…”

“Iya, sebentar……” Seruku. Kuputar kunci pintu depan dan kubuka dengan kasar. Seketika aku tertegun melihat sosok anggun yang berdiri didepanku.

“Bunda, kenapa datang kesini?” tanyaku gelisah.

Hatiku deg-degan, badanku menggigil gemeteran, setengah sadar setengah pingsan, mulutku meracau tidak karuan.

“Bunda, aku terpaksa membunuhnya. Aku terpaksa membunuhnya…”

Aku tak tahu sudah berapa puluh kali kuteriakkan kata-kata itu. Aku tak sadar sudah berapa lama mulutku meracau kesetanan. Sampai kurasakan dekapan yang sangat kukenal. “Bunda…” gumamku lega.

Tapi kelegaanku cuma sekejap. Kurasakan cengkeraman keras tangan bunda di bahuku. Matanya menatap lurus menembus retinaku.

“Jadi kau sudah membunuhnya?”

Tak terdengar nada sendu dalam tanyanya.

“Kau langsung membunuhnya?”

“Iya, kutikam tepat ke jantungnya.” Jawabku tak kuasa berdusta.

“Bodoh!! Kenapa tak kau siksa saja, hingga Ayahmu merasakan derita. Maka sakit hati bundamu ini terbalaskan!” pekiknya.

Bunda menatapku penuh amarah, wajahnya memerah darah. Aku terperangah. Ternyata perlakuan Ayah telah membuatnya mendendam begitu dalam.

“Sekarang tunjukkan mayatnya!”

Kamipun berjalan ke kamar. Sesampainya di sana, kulihat ibu tiriku siuman.

“Urusi Ayahmu, biar dia menjadi bagianku.” kata bunda seraya menghampiri ibu tiriku. Aku mulai membungkus mayat Ayah yang membiru kaku dengan karpet dan mengikatnya. Sempat kulihat tatapan aneh antara Bunda dan Ibu tiriku. Seperti ada sesuatu yang mengikat mereka. Entahlah.

Lalu aku berbalik arah dan mulai menyeret mayat Ayah, tapi tiba-tiba…

“Buukkkkk…,”

Ada yang menghantam kepalaku, seketika gelap menyelimuti pandanganku.

Aku terhuyung, jalanku sempoyongan, tanganku mencari-cari pegangan dan tubuhku terasa ringan. Pingsan.

****

3
Aku terjaga, tapi sekelilingku gelap tak bercahaya. Kurasakan tubuhku ringan, seperti terbang. Hmm… tidak, aku tidak melayang, masih kurasakan dinginnya lantai menembus kulitku dan rasa sakit yang mendera kepalaku.

Aku mencoba menggeliat, tapi… hei kenapa tangan dan kakiku terikat? Kupaksa berteriak dan berontak. Sia-sia, mulutku tersumbat dan ikatannya terlalu kuat. Sayup-sayup terdengar suara tapi entah darimana datangnya.

“Akhirnya berjalan sesuai rencana”

“Iya, tapi dia benar-benar kesetanan.”

“Itu harga yang pantas kau bayar.”

“Sebegitu mahalkah?”

“Hahaha… bagaimana denganku?”

“Kalau kau lain ceritanya sayang.”

Kemudian terdengar tawa berderai. Seperti ada yang dahaga birahi di sudut tak berpenghuni. Huh, menjijikkan!

“Ayolah… kapan lagi kalau bukan sekarang?”

Nada manja menggema di udara. Kupaksa otakku untuk fokus pada tubuhku. Aku mulai berfikir bagaimana bisa lepas dari ikatan yang menyiksa ini. Sementara derai tawa itu semakin lama semakin menghilang berganti dengan rintihan disertai lenguhan. Kutulikan pendengaranku tapi suara-suara itu tetap saja bisa menembus gendang telingaku.

Kucoba untuk diam memejam. Berharap malaikat maut datang menjemput mencabut nyawaku dengan lembut, tanpa kalut.

****

4
Deru suara mesin mobil mengagetkanku. Kurasakan tubuhku bergoyang seiring mobil yang melaju kencang. Tangan dan kakiku masih terikat, bahkan semakin kuat. Dan seperti ada sesuatu yang besar menghimpit tubuhku. Mungkin aku di dalam bagasi bersama segala macam barang yang mereka bawa pergi.

Dalam keadaan seperti ini aku jadi teringat Ayah. Sungguh malang nian nasibnya. Ditinggal pergi istrinya, mati ditangan anak perempuan semata wayangnya, lalu istri mudanya menghianatinya. Ayah, maafkan aku. Aku tidak sadar kalau ternyata aku dijebak oleh mereka. Mataku menghangat. Ahh… menangispun tak ada artinya sekarang. Aku mencoba menggerak-gerakkan tubuhku dan jemariku meraba-raba sekelilingku. Yang pertama terasa olehku adalah seperti kain yang bertekstur kasar dengan tali-tali yang mengikatnya. Tanpa berpikir keras, aku langsung menduga itu jasad ayahku yang telah tewas. Jadi kami diikat bersama-sama. Aku dan Ayahku -yang mati ditanganku. Hmm… sempurna.

Kurasakan bibirku menarik seulas senyum –entah takut dengan situasi yang kurasa genting atau mungkin aku yang mulai sinting. Aku mulai berpikir, mungkin mereka akan membuangku –bersama Ayahku. Menghilangkan jejak. Potongan-potongan adegan film yang pernah kulihat berkelebat di otakku. Mungkin aku akan dibuang ke jurang, dilempar ke semak belukar, dihanyut ke laut, dilebur dalam kubur atau dibenam di danau yang dalam. Entahlah, semua pilihan terasa begitu menyeramkan… Hufffff!

Tiba-tiba mobil berhenti. Mesin mobil menderu sebentar, lalu tak terdengar. Kemudian pintu dibuka dan ditutup dengan tergesa. Kudengar langkah kaki mendekat lalu seperti membuka bagasi dimana di dalamnya aku berada, tersembunyi. Beberapa saat kemudian tubuhku ditarik keluar dengan kasar.

“Cepat, jangan sampai kita terlambat. Sebentar lagi pagi.”

Terdengar suara yang begitu akrab ditelingaku.

“Iya, ini juga sudah cepat, tapi memang tubuh mereka terlalu berat.”

“Kita seret saja bersamaan, toh jaraknya tidak begitu jauh dari jembatan.”

Jembatan? Dalam keadaan tak wajar aku masih berpikir sadar. Mungkin mereka akan membuatku merasakan terjun bebas ke sungai. Betapa baiknya mereka, karena tahu aku begitu phobia dengan ketinggian. Sungguh benar-benar skenario yang matang.

Lalu kurasakan tubuhku diseret, aku berani sumpah pasti sekujur tubuhku lecet. Kudengar nafas mereka ngos-ngosan, sepertinya begitu kelelahan. Mungkin karena tubuh ayahku yang kelebihan beban, jadi perlu energi tambahan untuk menyeretnya tanpa hambatan. Sedetik kemudian diam. Pasti sudah sampai tempat untukku dieksekusi.

Sesaat tubuhku terangkat lalu terbang. Kurasakan diriku melayang. Ahh, kenapa disaat begini aku jadi teringat Tuhan -yang sudah lama kulupakan. Dia yang datang ke dunia untuk menebus dosa umat-Nya, yang rela disiksa demi kebenaran iman-Nya. Kenangan-kenangan masa kecil bersama Ayah Bundaku saat misa ke gereja mulai berputar di kepalaku, bagai potongan-potongan puzzle yang terhambur. Awur, tak teratur.

Tiba-tiba otakku terasa bebal, susah mengingat kalimat yang dulu sangat kuhapal. Doa. Iya, untaian kata-kata yang penuh makna. Tapi bagaimana aku bisa memaknai disaat genting begini, bahkan kalimat pembuka doa pun aku lupa. Kalimat sederhana yang terucap di setiap harap.

Sepertinya aku mulai berhalusinasi. Kulihat diriku dari masa dulu. Tubuh kecil berlutut, dengan tangan saling bertaut dan mata terpejam. Diam. Lalu tangan kanan bergerak ke arah dahi, turun ke dada tengah, kiri dan kanan. Membentuk tanda salib. Aku melihat mulut mungilku bergerak-gerak seperti berucap dengan patuh, entahlah aku tidak mendengar secara utuh. Seperti mengucap kata-kata Atas nama…

Aku ingat sekarang. Iya, doa pembuka yang dulu sering kuucap sekian kali dalam sehari.

Atas nama…1)

atas

nama…

Byuuuuurrr

Gereleb sleb…2)

****

5
Byuuuuurrr

Aku tergeragap. Megap-megap. Kurasakan dingin air menyelimuti tubuhku. Seketika aku meronta, tanganku menggapai-gapai udara. Tubuh Ayah. Aku ingat. Ayah harus terlepas dari tubuhku agar aku tidak tenggelam semakin dalam. Kujejak-jejak kakiku berharap bisa terbebas dari belitan tali dan terlepas. Tapi sepertinya sia-sia. Aku kehabisan tenaga. Kurasakan tubuhku menggigil. Mungkin sekarang saatnya Azra-El 3) datang memanggil. Tiba-tiba seberkas cahaya terang menyinari wajahku. Mungkin seperti inilah wujud malaikat, tanpa rupa hanya cahaya. Tapi bukannya Azra-El malaikat pencabut nyawa? Yang kubayangkan seram dengan tubuh raksasa. Bukan terang seperti Gabriel yang datang mewartakan kebenaran. Mataku memicing, tubuhku bergeming. Hening.

“Donita apa-apaan ini!! Kau tak malu dengan matahari. Lihat dia sudah merangkak tinggi sementara kau enak-enakan bergelung dengan mimpi! Bangun!!”

Kubuka mataku perlahan. Kulihat ibu tiriku menatap sinis ke arahku, berdiri dekat jendela kamarku. Ternyata terang yang kulihat tadi adalah cahaya matahari yang menerobos masuk ke kamarku. Bagus. Mimpi yang sempurna, serasa nyata.

“Hei, malah bengong!! Cepat bangun. Dasar pemalas!”

Aku tertegun. Kulihat ibu tiriku mulai mendekat ke ranjang. Tangannya menarik selimutku dengan kasar, matanya nanar.

“Kau pikir bisa seenaknya begini sementara ayahmu pergi? Jangan harap!”

Ahh… Ayah sudah pergi? Spontan aku melompat berdiri. Sepertinya ini saat yang tepat untukku meluruskan mimpiku. Aku harus mencari skenario yang lebih relevan agar mimpiku tak berubah kenyataan. Otot-otot tubuhku terasa mengejang, menunggu saat menggelinjang. Kurasakan sepasang tanduk menyala merah menyembul di sela-sela rambutku yang basah.

Ibu tiriku yang cantik dan kejam, langsung kusergap diam-diam…

*****
Tamat



Jakarta 2009


Catatan :
1). Atas nama Bapa, Putra & Roh Kudus, kalimat yang harus diucapkan sebelum dan sesudah berdoa bagi umat Katholik.
2). Dari baris puisi Misteri Puisi, Man Atek, Kemudian.com Okt 08.
3). Malaikat pencabut nyawa dalam agama katholik, sama dengan Izrail dalam agama Islam.

Okt ’08 – Nov 09, pernah diposting di situs Kemudian.com dengan format 100 kata bersambung.
090709; 04.12am, finishing dengan beberapa editan dari cerita 100 kata sebelumnya.

0 komentar:

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP