28 Oktober 2009

[Sonnet] Wani ngalah luhur wekasane*

Betapa pertemuan ini telah kunanti
ketika kau menjelma pengemis renta
untuk meminta anting serta baju zirahku yang sakti
seperti yang pernah diperingatkan ayahku, Batara Surya

Aku tahu kau pasti sangat terkejut ketika
langsung saja kusayat senjata yang melekat
di tubuhku dan kuberikan padamu tanpa banyak tanya
meskipun harus kurasakan sakit yang teramat sangat

Dan penyamaranmupun luntur perlahan ke wujud aslimu
kemudian Konta kau berikan padaku sebagai pengganti.
Karna, katakan padaku, mengapa kau luluskan permintaanku?
tanyamu sesaat sebelum kau pergi.

O Batara Indra, bagaimana aku bisa gugur sebagai ksatria
bila ada yang selalu melindungiku dari bahaya?


281009 ; 01.05pm
lunch break


Wani ngalah luhur wekasane* : Berani mengalah akan luhur/mulia pada akhirnya

26 Oktober 2009

Dual Version : Renjana & Dahaga [Sonnet]

Renjana (17+)

Senja siapsiap beranjak pulang ketika pintuku diketuk seseorang, kemudian kubuka perlahan, sesosok tubuh berdiri kukuh, tertegun menatap pintuku yang anggun. Tangan kanannya menggenggam seikat mimpi sementara tangan kirinya terkepal seperti ada benda kecil sembunyi dibalik jemari. “ijinkan aku masuk dan mengembangkan layarku, biar kuarungi sepimu.” pintanya

Aku terdiam. Coba mencerna setiap kata dan menggali arti yang tersembunyi. Mencari makna di kedalaman matanya. Tak kutemukan ragu di situ. “tapi aku mau bingar, mampukah kau membuatku ingar?” tanyaku

Lalu tangan kanannya diulurkannya padaku. Mulutnya mengulum senyum “aku membawakanmu seikat mimpi, dan kita bisa bersamasama merajutnya dalam sepi”. Kemudian kepal tangan kirinya terbuka perlahan, “aku juga akan memberimu sebutir berahi, benda kecil ini bisa membuatmu terbakar, hingga sepimu akan berubah bingar,” ucapnya seraya tertawa

Akhirnya kupersilahkan dia masuk. Awalnya kami saling mengurai sepi lalu menyulam rindu kemudian berdansa seirama denyut jantung yang semakin riang. Hingga akhirnya kakikaki saling mengunci dan sibuk menguliti, lalu tibatiba tangannya menjelma sepasang ular, membelit tubuhku yang menari liar dan mulutnya berubah menjadi lebah yang menyengatku dari segala arah.

Aku melihat bara di matanya semakin besar, lalu membakar tubuhnya dan menjalar ke tubuhku, menghanguskan segala rasa hingga banjir peluhpun tak mampu memadamkan nyalanya. “aku dahaga,” rintihku. Lalu tanpa suara, dia bimbing aku ke arah alirnya.

dalam senyap aku menyesap. menikmati setiap tetes madu lingganya.

: harta karunnya


Jkt, 19th Dec ‘08
Lunch break, 12.15

------------------------------------------

Sonnet : Dahaga

Malam semakin larut, ketika dia datang menembus kabut.
Lelaki dengan bekas luka di dagu, membentuk garis biru ungu,
sementara tangannya menggenggam rindu yang akut bagai maut.
Ijinkan kukembangkan layarku, biar kuarungi sepimu.

Aku terdiam, kutatap matanya yang kelam dalam-dalam.
Sedetik kemudian kami saling melepas rindu dan mengurai sepi,
lalu menari seirama degup jantung yang berdentam bagai meriam.
Hingga akhirnya kakikaki saling mengunci dan sibuk menguliti.

Tiba-tiba tangannya menjelma sepasang ular, membelit tubuhku yang menari liar
lalu mulutnya berubah menjadi lebah dan menyengatku dari segala arah.
Kulihat matanya berkobar, menjalar ke arahku dan terus membakar,
hingga banjir peluhpun tak mampu padamkan gairah.

Aku dahaga. Tanpa suara, dia bimbing aku ke arah alirnya.
Dalam senyap aku menyesap. menikmati setiap tetes madu lingganya.


191208 – re-edit 241009

Sonnetnya judulnya berubah dari judul aslinya Renjana (rasa hati yang kuat akan rindu, cinta kasih, birahi) menjadi Dahaga, agar lebih pas (menurutku). Isinya juga ada beberapa yang dihilangkan dan mengalami penyesuaian.

Terinspirasi dari kalimat “kutelan dia sambil memaku tubuhku.” Vagistin by Oka Rusmini

22 Oktober 2009

teruntuk : 15 Oktober

: ku, aya


waktu berjalan begitu cepat
---mendekat

cukupkah waktu?


151009

06 Oktober 2009

Puisi peribahasa : Ngunduh wohing pakarti

Puisi ini aku dedikasikan untuk mbah kakungku, Poncowae Lou yang sangat menyukai tokoh panutan saya, Karna dan juga mengenalkanku dengan puisi peribahasa kreasinya.
__________________________________________________________


Puisi peribahasa : Ngunduh wohing pakarti*


Satu siang di tepi Gangga, saat matahari tepat di atas kepala :

Aku Kunti, Ibumu.
Ibu? O perempuan agung, bahkan gaung namamu terasa asing berdengung.
Tak seperti Radha yang sudra, begitu sederhana, begitu mencintaiku apa adanya.

Tapi aku yang melahirkanmu.
Jika benar kau ibuku, kenapa kau tega merenggut hakku dimasa lalu?
Kenapa baru sekarang kau datang, mengabarkan kebenaran?
Disaat perang menjelang dan nasib anak-anakmu sangat kau cemaskan.

Bukankah dari dulu kau tak mengharapkan keberadaanku?
Tentu kau tak lupa, kau yang membuangku ke sungai Gangga.
Ketahuilah, apa yang telah kau buang, tak bisa (lagi) kau dapatkan.
Apa yang kau tanam, itu yang akan kau tuai.

Maafkan aku Anakku. Tapi kau tak tahu riwayatmu sendiri. Di tubuhmu mengalir darah Pandawa, maka penuhilah tugasmu membela darahmu.
Kenapa… Kenapa setelah semua kehinaan yang kuterima,
kau baru mengakuiku sebagai anakmu, darah dagingmu?
Mungkin darahku benar Pandawa, tapi Kurawa-lah yang menghidupkan jiwaku.
Adalah Duryudana, yang telah menyelamatkan hidupku, mengangkat derajatku.
Hingga aku bisa menantang Arjuna, menantang kesombongannya.

Dan kini kau datang memintaku bersekutu denganmu?
Bukankah itu melanggar dharma, dharmaku sebagai ksatria?
Bagaimana mungkin aku membalas kebaikan dengan pengkhianatan?
Aku tak bisa memuntahkan asam garam yang telah kumakan!

Tapi anakku, tak bisakah kau mengurungkan diri dari perang besar ini? Bayangkan betapa remuk hatiku melihatmu bertempur melawan saudaramu sendiri.
Tidak Dewi. Permintaanmu tak bisa kupenuhi.
Baratayudha bukan hanya sekedar perang, pun bukan
perkara siapa yang menang. Di sana segala kehormatan dipertaruhkan.

Tapi kau tak perlu cemas, aku tak akan melukai anakmu yang lain.
Urusanku hanya dengan Arjuna, karena aku telah bersumpah untuk membunuhnya.
Dan di pertempuran nanti, siapapun yang mati, aku atau Arjuna.
Kau tak akan kehilangan putra. Putramu akan tetap lima.
Sebab Pandawa haruslah lima.


(2009)

*Ngunduh wohing pakarti : Wong kih bakal nompo wales opo kang ditindakake -orang hidup itu akan memetik hasil amalannya (buah pekerti/tindakannya).

02 Oktober 2009

Padang berlinang

Ada yang mengguncang.

Atau mungkin bumi terguncang
melihat tingkah manusia semakin lancang?


(2009)

Lelaki itu (re-post)

Diambang senja, lelaki itu di sana. Berdiri tengadah ke arah cakrawala. Jarinya yang gemetar sesekali menyentuh dahi, mengusap peluh tanpa keluh. Aku mengenalnya. Dia yang dengan tangannya mampu meretakkan gunung dan menguras lautan. Berharap menemukan sekeping asa, untuk diberikan kepada istri dan anaknya, bahwa esok, Tuhan masih bermurah hati pada mereka.

Kala senja, lelaki itu masih di sana. Menikmati semburat jingga di cakrawala. Bibirnya yang tipis menebar senyum manis. Aku mengenalnya. Dia yang dengan khusyuknya membaca kalam di setiap malam. Berharap menemukan satu pencerahan, untuk dinasehatkan kepada istri dan anaknya, bahwa kelak, setiap dharma yang tertunaikan pasti akan mendapat balasan.

Ditepi senja, lelaki itu tetap setia di sana. Menanti gelap menyelimuti cakrawala. Kakinya yang lemah sesekali oleng menahan berat tubuh rentanya. Wajah tuanya menyiratkan pengalaman hidup yang bersahaja. Aku mengenalnya. Dia yang telah menanam wujudku di rahim ibu.

: Ayahku


(2008)

Satu siang di Sewaka

: semua teman SMU-ku

Satu siang di Sewaka
Kita berkumpul bersama
Menyatukan kepingan-kepingan masa lalu
Mengurai cerita-cerita masa dulu
: nostalgia

Satu siang di Sewaka
Waktu berjalan begitu cepat, begitu lesat
Sementara otak kita masih kuat menjaring ingat
Senja datang menjemput dikala bahagia semakin akut, semakin larut
: kembali ke masa kini

Satu siang di Sewaka
Kita berjanji bertemu lagi
: mengabadikan memori


(2009)


Small reunion bareng temen2 SMU @ Bakso Balungan – Lesehan Sewaka, 23-09-09.

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP