teruntuk untukku #2
laju menggerus usia.
cukupkah waktu?
1510, 12:30
Selamat datang, mari berbincang
perangkai kata : Eti Puji pada 15.10.14 1 komentar
#1
morning blues
remembering the day
he passed away
1410
in memoriam; our beloved nenek aki, St. Olloth Pilling
#2
like a shadow
all your memories
following me
#3
di keheningan
sehelai daun jatuh
menjemput takdir
perangkai kata : Eti Puji pada 15.10.14 0 komentar
langit seketika meredup. awan menutup
seberkas cahaya tiba-tiba melesat cepat
menelusup masuk. menyibak hawa sejuk
ke keputren
perangkai kata : Eti Puji pada 15.10.14 0 komentar
setiap hari pertama di bulan sepuluh adalah harinya. hari yang
bersejarah bagi dirinya. hari yang akan selalu diingatnya. adalah hari
dimana dia keluar dari garba seorang wanita. menjejak dunia. menghirup
udara.
setiap hari pertama di bulan sepuluh adalah harinya. dan
di hari yang sama pula aku mengingatnya. mengingat segala tentangnya.
yang tanpanya aku takkan pernah ada. iya. dia. seseorang yang telah
menanam wujudku. ke dalam rahim ibu. ayahku.
selamat tambah usia ayah. maafkan anakmu yang payah
01102014
jelang subuh
perangkai kata : Eti Puji pada 1.10.14 0 komentar
ragam kata : dedicated to, puisi
6-7september 2014
Baduy dan tradisi, adalah
dua hal yang saling berkaitan. Tanggal 6-7 September lalu saya
berkesempatan mengunjungi Baduy dengan segala tradisinya. Sebenarnya
keinginan ke Baduy sudah terpendam lama, tapi baru kesampaian minggu
pertama bulan ini. Setelah sebelumnya seperti ada rangkaian pertanda
yang menuntun langkah saya ke sana, diawali dengan menonton jalan-jalan
Belda ke Baduy di Explore Indonesia di Kompas.tv, terus besoknya tidak
sengaja bertemu dengan iringan orang Baduy-Dalam yang turun gunung di
kawasan pemukiman Pondok Indah,kemudian berlanjut besoknya di status mas
Ersta -teman FB- yang berkeinginan kesana. berdasarkan
pertanda-pertanda itulah, saya membulatkan tekad untuk ke sana, karena
menunggu waktu luang sepertinya tidak akan mudah datang. Akhirnya saya
ikut ajakan mas Ersta ngetrip ke Baduy dan disepakati hari sabtu pagi bertemu di stasiun Duri, titik awal keberangkatan.
Sabtu
subuh 6 september saya sudah terjaga, setelah persiapan dan sarapan
kopi hitam, saya menuju stasiun Lenteng Agung untuk naik commuter line. di CL ini saya bertemu rombongan pertama dari Bogor, yang terdiri dari Mas Ersta, mba Tri & bang Ithing (si empunya trip),
lalu Nico, Wisya & Ipeh. Setelah sampai di Stasiun Duri, saya
bertemu rombongan kedua (Ucok, Dian & Lidya), lalu rombongan ketiga
(mba Widhya & mba Dita) dan rombongan terakhir (Tedo & Aank).
Total rombongan kami berjumlah 14 orang dari Jakarta.
Pukul
07.10 kereta yang saya tumpangi mulai berjalan. Sepanjang perjalanan
saya lebih tertarik untuk melihat-lihat, maklum ini perjalanan kereta
pertama saya ke arah barat. Dan ternyata dalam kereta masih saya jumpai
pengasong yang hilir mudikmenjajakan dagangannya, seperti perjalanan
kereta ekonomi jaman ketika belum ada kebijakan baru dari PT KAI.
Seperti dejavu. Kira-kira dua setengah jam berikutnya, sampailah kami di
stasiun Rangkas Bitung. Dari sana, perjalanan dilanjutkan dengan
mencarter mobil Elf menuju Desa Ciboleger, desa terakhir yang merupakan
gerbang awal menuju perkampungan Baduy. Perjalanan Elf memakan
waktu hampir dua jam, dengan jalan yang berbelok-belok dan debu di
mana-mana, saya lebih memilih untuk tidur sepanjang perjalanan. Sampai
di Ciboleger, kami disambut seorang bapak paruh baya berikat kepala
putih tanpa alas kaki. Mang Aja namanya, seorang Baduy-Dalam yang akan
menjadi navigator dalam perjalanan kami sekaligus tempat bermalam kami
nanti. Kami akan menginap di Kampung Cibeo, salah satu kampung
Baduy-Dalam paling dekat dibanding dua kampung lainnya yaitu Cikertawana
dan Cikeusik.
Pukul 01.00 siang setelah
beristirahat dan makan siang, kaki-kaki kami mulai melangkah menapaki
jalan setapak. Jalur berangkat melewati kampung Baduy-Luar Kaduketer.
Perjalanan kami ditemani oleh Mang Aja beserta anak-anaknya (Kang Kodo
dan Herman), juga Asep salah satu teman Herman. Mereka saya perhatikan
tidak banyak bicara kecuali jika ditanya, itupun mereka hanya menjawab
seperlunya. Mungkin tipikal orang Baduy-Dalam seperti itu, cenderung
pendiam. Memasuki ladang di lereng-lereng bukit, hawa panas menyergap
kami. Ternyata waktu itu memasuki musim tanam, orang-orang Baduy tampak
sibuk membuka lahan pertanian dengan cara membakarnya terlebih dahulu
untuk membasmi gulma dan semak belukar. Jalur ke Baduy-Dalam hampir
seperti jalur naik gunung, ada turunan, tanjakan, landai, menyeberang
sungai berbatu, memutar punggungan bukit, dan setapak kecil pinggir
jurang. Saya sempat kewalahan mengatur nafas, maklum sudah lama sekali
tidak pernah naik gunung lagi. Ditambah lagi, ketika sedang berjalan,
efek nikotin seakan berkejaran dengan langkah kaki saya yang sudah
tertatih-tatih, berebut membakar paru-paru saya.
Sepanjang
jalur di kampung Baduy-Luar kami masih diperbolehkan untuk mengambil
gambar, saya sempat memotret beberapa Leuit -lumbung padi masyarakat
Baduy, lereng perbukitan,juga jembatan bambu dan sungai berbatu yang
kami lewati. Memasuki perbatasan Baduy-Dalam –yang ditandai dengan kali
kecil dan batu besar, Herman memperingatkankami untuk mematikan segala
peralatan elektronik yang kami bawa. Saya mematikan ponsel dan digicam
dan mengamankannya ke dalam tas. Perjalanan selanjutnya saya lebih
banyak diam, menikmati pemandangan dan menghimpun tenaga agar sampai ke
Baduy-Dalam tanpa terengah-engah.
Kira-kira 4 jam
perjalanan jalan kaki –dan lebih banyak berhenti- akhirnya kami
sampaijuga. Memasuki kampung Cibeo, kami disambut suara gemericik air
sungai yang mengalir di sepanjang sisi luar kampung dan suara anak-anak
kecil yang bermain angklung di balai. Tidak ada penerangan listrik,
tidak ada musik, tidak ada detak jam, juga tidak ada dering telepon.
Saya seperti memasuki mesin waktu menuju ke abad lampau di mana
teknologi belum ada sama sekali. Saya merasakan ketenangan yang selama
ini saya cari-cari. Suara alam yang membentuk harmoni dan udara yang
masih murni.
Meski hanya menginap semalam di
Baduy-Dalam tapi sangat meninggalkan kesan. Malam hari di sana tidak
banyak aktivitas yang mereka lakukan, bahkan anak-anak kecil tidak
banyak yang bermain di luar –meskipun saat itu terang bulan. Mereka
lebih banyak berdiam dirumah, beristirahat atau membuat kerajinan
tangan. Masyarakat Baduy saya perhatikan ketika sedang berbincang juga
sewajarnya, jarang dengan volume suara yang kencang. Suasananya tenang.
Hanya gemericik air sungai yang terus-menerus berdendang. Sesekali suara
tawa dari kami –para tamu- yang justru menodai ketenangan itu.
Malam
itu cuaca sangat bersahabat, terang bulan dan tidak hujan. Ketika
sebagian teman-teman saya beristirahat, ditemani Nico saya berbincang
dengan Kang Kodo. Meskipun Kang Kodo berkali-kali bilang tidak terlalu
dalam mengetahui adat mereka, tapi dari perbincangan itu saya jadi tahu
apa yang membedakan mereka dengan Baduy-Luar. Hal-hal apa saja yang
diperkenankan bagi mereka, juga batasan-batasan apa saja yang tidak
boleh dilanggar dan sanksi apa saja yang bakal diterima bila mereka
melanggarnya. Banyak pepatah yang waktu itu Kang Kodo katakan, tapi yang
paling saya ingat adalah “Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung"
(panjang tak bisa dipotong, pendek tak bisa disambung), itu salah satu
alasan mengapa mereka tetap berjalan kaki seberapapun jauhnya, karena
mereka tidak boleh memperpendek jarak dengan menumpang kendaraan.
Setelah ngobrol panjang,menjelang pagi akhirnya kami memutuskan untuk
tidur. Mengingat esok pagi kami sudah harus bangun dan pulang kembali,
dan juga tengah malam itu Kang Kodo masih harus mencari madu yang kami
pesan ke hutan.
Setelah tidur yang hanya
sebentar, subuh saya sudah kembali terjaga. Geliat kehidupan masyarakat
Baduy sudah dimulai ketika subuh tiba. Ibu-ibu beranjak ke sungai untuk
mandi dan mencuci. Asap dapur juga terlihat mengepul menerobos atap-atap
rumah. Setelah bersih-bersih diri dan sarapan pagi, pukul 7 kami
meninggalkan kampung Cibeo. Setelah berpamitan dengan istri Mang Aja dan
anak-anaknya yang kecil, dengan berat hati kaki kami kembali menyusuri
jalan setapak untuk menuju Baduy-Luar.
Masih ditemani
Mang Aja, Kang Kodo, Herman dan Asep, perjalanan kembali ini kira-kira
memakan waktu 6 jam. Melewati jalur berlawanan arah dengan jalur
berangkat. Kira-kira menjelang tengah hari kami sampai di kampung
Baduy-Luar Gajeboh. Di sana kami istirahat untuk makan siang di salah
satu rumah warga yang sepertinya memang sering dijadikan tempat transit
bagi para tamu seperti kami. Di rumah ini pula saya membeli kerajinan
tangan khas suku Baduy, syal tenun ikat, gelang jalinan dan gantungan
kunci kayu. Tersedia juga cenderamata lain seperti tas anyaman dan kain
sarung tenun khas Baduy.
Setelah makan siang, kami
kembali melanjutkan perjalanan. Tidak sampai satu jam, kami sudah sampai
di desa Ciboleger. Setelah istirahat lagi sebentar dan berfoto bersama,
kami berpamitan dengan Mang Aja dan lainnya untuk kembali ke Jakarta.
Ada sesak yang menghimpit dada, ketika kami harus mengakhiri kebersamaan
kami bersama mereka. Meskipun singkat, tapi sambutan Mang Aja dan
keluarganya teramat sangat hangat.
Dengan menaiki mobil
Elf yang sama, kami kembali menuju ke stasiun Rangkas Bitung, untuk
kemudian melanjutkan perjalanan kereta ke Jakarta. Pukul 4.30 kereta
membawa tubuh-tubuh penat kami, bersama kenangan yang turut serta kami
bawa. Tiba di Jakarta, malam beserta gemerlap lampu kota serta-merta
menyergap kami. Bising kendaraan yang kini terdengar asing, lalu-lalang
orang-orang dan hiruk-pikuk mereka yang sibuk memenuhi pemandangan kami.
Aaah... Selamat datang kembali.
Dan yang menjadi
catatan saya dalam perjalanan ini adalah sampah plastik ada dimana-mana
-botol minuman kemasan dan bungkus makanan/snack, di sepanjang jalur
menuju dan keluar dari Baduy. Terus terang saja sangat merusak
pemandangan yang asri. Saya yakin, orang Baduy sendiri sangat menjaga
lingkungan. Mereka tidak akan membuang sampah sembarangan, apalagi ini
sampah plastik yang sangat membahayakan alam mereka. Tetapi para tamu
yang notabene orang luar, yang datang berkunjung kesana yang sayangnya
tidak menghormati tuan rumah, salah satunya dengan membuang sampah tidak
pada tempatnya. Perjalanan kali ini mungkin saya belum bisa berbuat
sesuatu -karena serba dadakan dalam persiapan, tapi suatu hari nanti
ketika saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke sana lagi, ada misi
yang ingin saya jalani, terutama masalah sampah ini. Sambil menyusuri
jalan sambil memunguti sampah plastik yang berserakan, semoga nanti ada
kesempatan.
Perjalanan ini benar-benar menyisakan kesan
yang mendalam. Mengenal orang-orang baru yang sebelumnya saya tidak
pernah tahu. Juga tentang kearifan lokal, bagaimana menjalani hidup
dengan sederhana dengan cara menyelaraskan diri kita dengan alam dan
orang-orang di sekitar kita.
Terimakasih mas Ersta, mba
Tri & bang Ithing, Nico, Wisya & Ipeh, mba Widhya & mba
Dita, Tedo & Aank, Ucok, Dian & Lidya. Terimakasih sudah menjadi
teman perjalanan yang menyenangkan, saya seperti mendapat keluarga baru
dengan adanya kalian. Semoga kita dipertemukan lagi dalam perjalanan
yang lainnya.
30 September 2014
hampir sebulan setelah perjalanan.
perangkai kata : Eti Puji pada 1.10.14 0 komentar
ragam kata : meracau, perjalanan
© Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008
Back to TOP