Doris
Galeri utama ini tampak megah dengan pilar-pilar penyangga atap yang berdiri gagah. Bola-bola lampu kristal berukuran sedang tergantung tepat di tengah ruang. Juga ada beberapa guci keramik yang sepertinya sengaja ditata sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan klasik. Kuedarkan pandang ke seluruh ruang, sore ini tampak lengang. Hanya ada beberapa pengunjung yang terlihat mengamati beberapa lukisan yang terpajang di sepanjang dinding. Mereka melihat-lihat lukisan satu demi satu secara bergantian, menggeser posisi dengan perlahan.
Sementara seorang gadis di sebelahku masih berdiri terpaku. Matanya menatap lurus ke lukisan di depannya, seakan ingin menembus kanvas dan masuk ke dalamnya. Sudah hampir satu jam dia terdiam. Aku jadi berpikir kira-kira apa yang membuatnya tampak begitu tersihir, hingga matanya terus menatap, tak sekalipun mengerjap.
Kembali kulihat lukisan itu. Sebuah gambar pemandangan yang menurutku sederhana. Dermaga tua dengan latar belakang senja yang hampir purna. Ada beberapa kapal kecil penangkap ikan yang tertambat di bagian kanan. Sementara air laut tampak tenang dengan pendar sinar keemasan. Lalu ada sosok lelaki tua yang berdiri di ujung dermaga, bertopi pet, dengan tangan kiri mendekap dada, sementara tangan kanannya memegang tongkat yang menopang tubuh rentanya. Pandangannya ke arah siluet jingga tepat di garis cakrawala. Itu saja.
“Begitu berbicara,” kudengar dia menggumam. Takjub.
Aku menoleh ke arahnya. Matanya masih menatap serius ke lukisan, tapi kali ini disertai senyuman.
“Pilihan tema yang pas, komposisi warna yang juga pas. Begitu hidup. Aku ingin lukisanku seperti itu.” Kali ini pandangannya beralih ke arahku. Matanya berbinar riang, namun sedetik kemudian berangsur hilang, “tapi susah.”
“Ayolah... kamu pasti bisa.” Ucapku seraya meregangkan kedua kakiku. Pegal juga ternyata setelah berdiri cukup lama.
“Ahh... Arya, bilang dong kalau kamu capek berdiri. Nggak usah pakai isyarat begini. Gimana kalau ke Cafe saja. Kita bisa duduk-duduk ngobrol di sana sambil menikmati senja, menikmati lukisan yang sebenarnya.” Tangannya menggamit lenganku. Lalu langkah kami beranjak keluar dari galeri utama, meninggalkan gambar si lelaki tua di ujung dermaga.
****
Doris namanya, lengkapnya Doris Septia. Aku mengenalnya belum lama, tepatnya hampir satu bulan lalu. Ketika itu kami bertemu di Pulau Tidung, yang masih merupakan gugusan kepulauan Seribu. Kebetulan aku dan dia tergabung dalam satu paket wisata yang sama. Aku menikmati secuil waktu di sela-sela jadwal kegiatan juga deadline pekerjaan yang mencekikku, sementara dia berlibur sekalian observasi untuk obyek lukisannya.
“Aku ingin membuat lukisan tentang keindahan bawah laut.” Ucapnya ketika berada di atas kapal yang membawa kami ke pantai Karang Beras, tempat paling tepat untuk snorkeling dan diving, menikmati pemandangan bawah laut.
“Bukankah obyek lukisan itu luapan imaji pelukisnya? Seperti Da Vinci dengan Monalisa, atau Basuki Abdullah dengan Nyi Roro Kidul?” Tanyaku. Lukisan adalah salah satu obyek seni yang sampai sekarang masih menjadi misteri, sulit kumengerti.
“Kebanyakan memang begitu, tapi aku belum seimajinatif mereka, dan aku masih belajar bagaimana membuat lukisan yang nampak bernyawa, serasa nyata. Apalagi ini tentang kehidupan bawah laut, setidaknya aku tahu wujud karang, batu koral juga habitat air itu seperti apa. Biar nggak kelihatan banget bodohnya hahaha....“ Tawanya lepas ke langit luas. Tubuh mungilnya terguncang seirama kapal yang melaju kencang.
Begitulah, dari pertemuan itu akhirnya kami berteman. Sifatnya yang ramah dan easy going membuat hubungan pertemanan ini terasa menyenangkan. Kadang di waktu luang akhir pekan, kami bertemu sekedar ngobrol sambil minum kopi atau duduk-duduk di taman kota seraya menikmati senja.
***
“Hot Coffee sama Orange Juice ya mbak,” ucap Doris sambil menyerahkan daftar menu, si pelayan mengangguk dan meninggalkan meja.
“Tumben, pesan Orange Juice. Sudah bosan minum kopi?”
“Nggak juga.”
“Lalu?”
“Lagi pengen aja. Keluar dari kebiasaan.”
“Aneh.”
“Apanya?”
“Nggak apa-apa.”
“Kok?”
“Nggak biasanya.”
“Kan tadi aku bilang, keluar dari kebiasaan.” Kepalan kecil tissue dilemparkannya ke arahku. Wajahnya merengut. Aku tergelak melihatnya.
Bookscafe tampak ramai. Hampir seluruh meja terisi. Tampak beberapa pasang remaja asyik menikmati obrolan mereka. Ada juga yang memanfaatkan hot spot gratis dengan berselancar di dunia maya. Sementara meja di sudut ruang bagian dalam, seorang lelaki paruh baya khusyuk dengan rokok kreteknya, menikmati nikotin di setiap hisapannya.
Pelayan tadi tampak berjalan menghampiri meja kami, kali ini tangan kirinya membawa nampan berisi minuman yang kami pesan. Setelah meletakkan minuman ke atas meja dan basa basi sekedarnya, pelayan itupun berlalu meninggalkan kami berdua.
Kuaduk kopiku pelan, lalu kureguk dengan perlahan. Sementara Doris sibuk memainkan jemarinya di bibir gelas, matanya jauh memandang ke angkasa. Sengaja kami memilih meja persis di sebelah pintu masuk, sehingga kami bisa menikmati pemandangan luar dari balik kaca. Menikmati senja, lalu lalang orang-orang juga kendaraan yang melintas di jalanan yang tak begitu luas.
“Candhikkala. Fenomena alam yang selalu mempesona”. Gumamnya lirih, “seperti halnya terbit fajar. Yang selalu melahirkan semangat baru.”
Kulihat langit merona jingga. Pendar sinar matahari kuning keemasan memantul di kaca-kaca, sewarna dengan lampu-lampu jalan dan kendaraan yang mulai menyala.
“Aku dengar kamu lagi menyiapkan pementasan. Lakon apa?” Ucapnya membuka percakapan.
“Perjalanan Kehilangan.”
“Noorca M. Masardi?”
“Yup.”
“Sudah sampai mana?”
“Baru proses reading . Terus lagi mengeksplorasi musiknya biar dapat yang pas dengan jalan ceritanya.”
“Memang kapan rencananya?”
“Mungkin sekitar awal tahun, tiga bulan lagi. Masih menyesuaikan jadwal dengan teman-teman yang lain. Kebetulan aku juga sibuk menyelesaikan beberapa naskah untuk kumpulan cerpenku.”
“Wah... udah mau terbit ya. Bisa dapat gratis nih.”
“Pastinya. Tapi aku minta salah satu lukisan kamu untuk desain sampul bukunya ya hehehe....”
“Curang. Nggak mau rugi.”
“Zaman sekarang mana ada yang gratis Non.” Mataku mengerling.
“Dasar.”
Kami tertawa bersamaan. Gelap perlahan mulai merayap. Hiasan lampu kelap-kelip yang merambat di dinding Cafe menambah suasana lebih gemerlap.
“Oia, kamu sendiri gimana? Kabar lukisanmu?”
“Buruk.”
“Buruk?”
“Iya. Lukisan yang aku inginkan belum selesai juga sampai sekarang.”
“Masalahnya?”
“Entahlah, aku merasa tak mampu menyelesaikannya.”
“Kenapa?”
“Masih ada yang kurang menurutku. Tapi aku tak tahu dimananya.” Wajahnya putus asa.
“Mungkin kamu perlu break sebentar. Jangan terlalu dipaksakan.” Aku tak bisa menyarankan apa-apa, karena aku sama sekali buta dengan dunia melukisnya.
“Apa yang aku lihat waktu diving dulu sudah coba aku tuangkan semua. Karang, ikan-ikan, juga habitat laut lainnya. Aku masih mencari ide kira-kira obyek apa lagi yang pas buat menyempurnakannya.” Jelasnya padaku.
“Iya. Pasti nanti ketemu jalannya. Aku tahu kamu bisa.” Ucapku meyakinkannya.
“Makasih ya. Oia, kapan-kapan boleh kan ikut kamu latihan. Siapa tahu aku pindah haluan, tertarik bermain teater hahaha....”
Doris. Dia pintar sekali mengalihkan pembicaraan. Seakan tidak ingin orang lain ikut merasakan kegundahan dalam hatinya. Wajahnya selalu nampak ceria, meski kadang kulihat matanya yang pualam seperti menyimpan misteri yang kelam.
***
Siang yang mendung. Matahari seakan enggan menampakkan diri. Aku masih berkutat dengan keyboard komputerku, ketika tiba-tiba ponselku berbunyi. Sms masuk.
Nama Doris tertera di layar ponselku. Klik.
11-Oct-10 10.53 am
Arya, aku tahu bagaimana caranya menyempurnakan lukisanku. Sepertinya aku harus lebih akrab lagi dengan kanvasku, biar ide dalam kepalaku ini bisa lebih menyatu. Ahh... jadi nggak sabar untuk menyelesaikannya dan melihat kau terkesima melihat hasil akhirnya.
*****
Sudah tiga hari sejak smsnya yang terakhir, ponsel Doris tidak bisa dihubungi. Nomornya tidak aktif. Panggilanku tak terjawab, smsku semua tertunda. Aku jadi bertanya-tanya, kira-kira pergi kemana dia. Apa mungkin dia travelling lagi, mencari inspirasi untuk obyek lukisannya? Tapi kenapa dia tidak meninggalkan pesan apa-apa?
Kucoba mengingat-ngingat pertemuan terakhirku dengannya, mungkin dia pernah bilang akan kemana dan aku tak mendengarkannya. Tapi seingatku dia tidak mengatakan apa-apa, selain tentang lukisan yang sedang dikerjakannya. Sekali lagi aku coba meneleponnya, sia-sia. Tak ada jawaban. Aku mulai gelisah.
Aku harus bertemu dengannya, memastikan dia baik-baik saja. Kubongkar lagi tumpukan brosur di laci meja, aku ingat dia pernah menuliskan alamat kost-nya ketika kami berpisah setelah dari Pulau Tidung dulu. Ketemu. Jalan Sawo Atas No. 15 Jakarta Selatan. Tanpa menunggu lama, aku langsung menuju ke sana.
Sesampainya di sana, tampak sepi. Kata Bapak si penjaga rumah, dia juga sudah beberapa hari ini tidak melihat Doris. Tapi tak ada pesan yang ditinggalkan seperti halnya ketika dia akan lama bepergian. Akhirnya aku meminta ijin juga bantuan pak penjaga untuk membuka paksa pintu kamar Doris.
Satu. Dua. Tiga.
Brakkkk!!
Pintu terbuka. Pelan aku masuk ke dalamnya. Segalanya tampak tertata sesuai dengan tempatnya. Tumpukan buku-buku di atas meja, tempat tidur yang rapi juga beberapa pigura yang terpasak di dinding kamar. Lalu kuas dan cat lukisan yang mulai mengering tergeletak di atas meja, berdampingan dengan kanvas berukuran besar yang masih terpasang kaki tiga tiang penyangga. Dekat jendela.
Pandanganku beralih ke kanvas. Kulihat gambar panorama bawah laut yang pernah dia ceritakan padaku beberapa hari yang lalu. Ada karang-karang, bebatuan koral, juga ikan-ikan yang berenang. Tapi kali ini ada yang beda. Ada sosok perempuan anggun melayang di dalamnya. Kaki kirinya lurus memanjang sementara kaki kanannya menekuk ke depan bertumpu pada lutut kaki kirinya, menutupi bagian kewanitaannya. Kedua tangannya menyilang di dada, menutupi kedua payudaranya. Samar-samar sisik keperakkan berkilau di sekujur tubuhnya. Sementara kedua ujung sirip tampak berkibar di sela-sela ikan-ikan yang berenang mengelilinginya, seperti selendang yang menjuntai dari balik punggungnya. Rambutnya yang panjang sebahu terurai mengikuti arus air. Lalu mataku menangkap wajah yang sangat kukenal, wajah yang belakangan ini sangat kuhafal. Bibir tipis, hidung lancip, juga sepasang mata pualam.
Kukerjapkan mataku berulang kali, berharap aku sedang berhalusinasi. Tapi sosok itu tetap ada, begitu nyata. Tiba-tiba aku teringat tentang sosok Dewi laut mitologi Yunani yang pernah aku baca dalam ensiklopedi. Mungkinkah dia?
Entahlah....
***
Tamat
13062010 ; 04.10 pm
Ditemani ‘Princess of the night’ by Richard Clayderman & teh manis hangat.
Doris : Dewi laut bulan dalam mitologi Yunani. Anak dari Okeanos dan Tethys. Juga merupakan istri Nereus.
Gambar di Copas dari http://dezzan.deviantart.com/art/Deep-mystery-155499244?q=boost%3Apopular+deep+mystery&qo=10