09 November 2010

Kenangan Hujan

Sisa hujan siang itu menyisakan genangan di beberapa ruas jalan. Travel yang membawaku kembali ke Jakarta penuh penumpang, maklum libur akhir pekan. Mungkin sebagian dari mereka adalah para pekerja di Jakarta yang setiap minggu pulang ke rumahnya di Bandung, dan sebagian lagi mungkin sekedar mengisi liburan dengan kegiatan berbelanja di beberapa Factory Outlet dan Distro yang banyak tersebar di sana. Sementara aku ke Bandung dalam rangka mengunjungi ibu mertuaku. Dulu kegiatan ini sering kulakukan bersama suamiku, tapi entah kenapa akhir-akhir ini ada saja kegiatan di saat bersamaan, jadi terpaksa aku berangkat ke sana sendirian.

Travel baru saja melintasi gerbang tol Pasteur ketika kulihat arloji menunjukkan pukul 5.20 sore. Beberapa penumpang terlihat ada yang mulai tertidur, ada yang sibuk dengan ponselnya, ada juga yang ngobrol santai dengan penumpang di sebelahnya. Kebetulan tempat dudukku di jok paling belakang, di pinggir, sehingga aku bisa menikmati pemandangan sepanjang perjalanan dari balik kaca mobil.


Memasuki Purwakarta, rinai kembali berderai. Sepanjang sore hujan memang berhenti, tapi mendung seakan enggan pergi. Tetap menggelayut. Kini gumpalan awan-awan itu pun kembali luruh, membentuk kristal-kristal bening yang jatuh. Dan aku, begitu menikmati pemandangan itu. Butiran-butiran kristal yang pecah di kaca. Saat-saat seperti ini aku jadi teringat ketika di panti dulu, tempatku menghabiskan masa kecilku. Saat hujan menyapa, seperti biasa aku akan terduduk diam di dekat jendela, menatap langit, mencoba membaca dan memahami pesan yang terbawa bersama butiran-butiran air yang meresap ke tanah. Atau ketika tak juga kupahami, aku akan pergi ke tanah lapang yang letaknya persis di halaman belakang. Berlari-lari kecil ke arah tengah. Lalu aku akan berdiri tengadah. Menantang langit. Meresapi setiap tetesnya yang menimpa tubuh kecilku. Kesenangan itu akan terhenti tiba-tiba ketika kudengar teriakan Laksmi –teman sekamarku- memanggil-manggil namaku, menandakan bahwa Bu Tini -pengasuh panti- melakukan pemeriksaan ke seluruh asrama.



Kilat yang menggores langit membuyarkan kenanganku. Sesaat kemudian guntur terdengar bergemuruh, gaungnya terasa merayap semakin jauh. Kulihat hampir semua penumpang pulas tertidur, sedang Pak sopir tampak konsentrasi mengemudi, menerobos deras hujan yang luruh bagai jeruji. Kuambil ponsel di dalam tas dan mencoba menelpon suamiku untuk mengabarkan kepulanganku, tapi tidak ada respon. Mungkin sedang berkendara. Dia memang ada kegiatan sastra di daerah Bulungan pada siang harinya. Dan panitia memintanya tampil untuk membacakan karya. Beberapa hari yang lalu dia sempat bercerita padaku, untuk pementasan kali ini dia akan membawakan salah satu puisinya dengan gaya teaterikal, gerak puisi demikian istilah dia untuk menyebutnya. Kolaborasi dengan beberapa teman teaternya. Membayangkan pementasannya seperti menggali ingatanku saat pertama kali bertemu dengannya dulu.



Kami berkenalan di suatu acara yang diadakan salah satu komunitas sastra di Jakarta. Waktu itu aku terpana melihat penampilannya di atas panggung. Betapa pembacaan puisinya begitu menyihir orang-orang yang melihatnya, tak terkecuali aku. Dari sana akhirnya kami berkenalan, kemudian berlanjut dengan saling bertukar nomor telepon dan sepakat untuk bertemu di kegiatan-kegiatan sastra berikutnya.



Hingga suatu malam di pertemuan ketiga, ketika aku diantarkannya pulang, dia meminta kesediaanku untuk menjadi istrinya. Menjadi istri, pendamping hidup, bukan semata kekasih. Pernyataannya yang serius, membuatku berfikir sangat serius. Kutatap matanya dalam diam, mencari sesuatu yang lebih berbicara dari sekedar kata-kata. Ada binar yang berpendaran. Dan aku yakin, sangat yakin, di sendu bola matanya itu terbias masa depanku. Tanpa proses yang panjang, aku mengiyakannya. Banyak yang beranggapan bahwa aku terlalu gegabah, tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, tapi sungguh, aku sudah memikirkan semuanya, lengkap dengan segala konsekuensinya. Bahkan ketika aku bersedia menerimanya, di saat itu pula aku siap untuk kehilangannya. Mungkin ini yang Tuhan gariskan untukku, untuk menjalani sisa waktuku dengan menemani pengelana kata-kata itu.



Setelah persiapan yang singkat, tiga bulan kemudian kami menikah. Pernikahan sederhana, hanya dihadiri keluarga dan teman-teman dekat. Setelahnya hidup kami berjalan apa adanya. Mengalir apa adanya. Dia sebagai kepala keluarga dan aku sebagai ibu rumah tangga, mengabdikan seluruh hidupku untuknya.



Tiba-tiba ponselku bergetar. Ada sms masuk. Ternyata dari Laksmi, teman masa kecilku. Dia mengabarkan bahwa bulan depan akan kembali ke Indonesia, ada beberapa dokumen yang harus diurusnya. Dia juga memintaku menemaninya selama di Jakarta, bernostalgia dengan masa lalu, berkunjung ke panti tempat kami dibesarkan dulu. Akhirnya setelah sekian lama menyepi di Lhasa, turun gunung juga dia. Kurasakan bibirku menarik seulas senyum. Pasti akan kusambut dengan suka cita, betapa kerinduanku sudah menggunung sejak kami berpisah di asrama dulu, bertahun-tahun lalu.



Arloji di pergelangan tanganku menunjukkan pukul delapan malam ketika travel melaju di jalan tol lingkar luar Jakarta, mengarah ke Bintaro. Dalam hitungan menit aku akan tiba di rumah. Perjalanan ini terasa lebih cepat dari biasanya, mungkin karena sepanjang jalan aku sibuk merangkai ingatan. Seperti memunguti potongan-potongan puzzle yang tercecer, lalu menyusunnya kembali menjadi gambar yang utuh.



Tak berapa lama, Travel sampai di pangkalannya di salah satu ruko di kawasan niaga di Bintaro. Dari sana aku melanjutkan perjalananku dengan Taksi. Lima belas menit kemudian gerbang perumahan tempatku tinggal sudah terlewati. Taxi mengarah ke blok terakhir dan berhenti di rumah paling pinggir. Aku turun. Lalu taksi itupun berlalu, menghilang dari pandanganku. Sesaat kulihat sekeliling sebelum langkahku mendekat ke pagar dan membukanya. Memasuki halaman rumah, mobil suamiku terparkir di garasi. Sudah pulang rupanya. Tak sabar aku menuju pintu. Tak terkunci. Tapi sepi. Mungkin suamiku sedang di ruang kerjanya. Kuletakkan oleh-oleh titipan ibu mertuaku di meja makan. Lalu aku beranjak ke kamar.



Belum sempat aku membukanya, sayup-sayup terdengar olehku suara pelan dari dalam. Bisikan-bisikan yang disertai rintihan manja. Suara perempuan dan laki-laki di saat bersamaan. Suara laki-laki itu pasti suamiku, aku sangat mengenal suara bariton yang keluar dari mulutnya, tapi suara perempuan itu.... Siapa? Siapa yang telah berani bercumbu di dalam kamarku, kamar pengantinku?! Kurasakan ada yang mendidih di kepalaku. Jemari tanganku menegang lalu mengepal.



Braaakkkk!!!



Kubuka pintu dengan kasar. Sepasang manusia tanpa busana tampak terkejut. Reflek tangan-tangan mereka menarik apa saja untuk menutupi tubuh-tubuh telanjangnya yang berkilat karena keringat. Sesaat aku terpaku, berharap adegan di depan mataku hanya sebuah mimpi buruk di tengah tidurku. Tapi ini nyata, kurasakan perih di dada. Kulihat suamiku berdiri dan tergesa melangkah ke arahku, dari mulutnya keluar penjelasan-penjelasan yang olehku terdengar seperti dengungan tawon yang mengerubung tepat di atas kepalaku. Tangannya mencoba menghalauku untuk keluar kamar.



Aku berontak. Ini tak bisa dimaafkan. Sungguh. Selingkuh adalah wujud pengkhianatan. Dan yang menyedihkan lagi, perbuatan itu dilakukan suamiku di rumah kami, istana yang kubangun dengan kejujuran hati. Kukibaskan tangan suamiku yang mencoba menghalangi, aku semakin merangsek ke dalam, mendekati perempuan itu yang menggigil takut, terisak di sudut. Pucat. Dadaku bergetar, mulutku getir. Kutampar pipinya lalu kuseret ke kamar mandi, tubuhnya meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Suamiku yang mencoba melindunginya membuatku semakin kalap, kudorong dia sekuat tenaga hingga tersungkur membentur siku meja. Lalu kakiku menendang apa saja, kaki, tangan bahkan sekujur tubuhnya. Aku tak tahu, kekuatan apa yang merasukiku. Sampai kemudian kulihat dia tak bergerak, hanya mulutnya yang meringis kesakitan. Mungkin ada salah satu tulangnya yang patah, entahlah.



Perempuan itu berteriak histeris, kubekap mulutnya dan kubenamkan kepalanya berulang kali ke dalam bak mandi, hingga lemas tak sadarkan diri. Selesai berurusan dengan perempuan itu, aku melangkah mendekati suamiku. Tubuhnya masih meringkuk di dekat meja, sesekali mencoba berdiri bertumpu pada kedua lututnya. Tangannya menggapai ke arahku yang berdiri beberapa langkah darinya. Rasa bersalah yang terlukis di wajahnya tak mampu meredakan amarahku yang terlanjur tumpah. Cinta yang kupupuk selama ini seketika lumer, meleleh tak berbentuk lagi. Rasa percaya yang coba kutanamkan padanya langsung tumbang. Potongan-potongan gambar kebersamaanku dengannya tiba-tiba terhambur, berputar-putar, melayang mengelilingiku. Pusing. Kepalaku terasa pening. Kugeleng-gelengkan kepalaku, berharap gambar-gambar itu terlepas dari ingatanku.



Aku harus membuangnya. Melenyapkannya.



Kuambil belati yang selalu kusimpan rapi di kotak riasku, di bawah tumpukan peralatan make up, aman tersembunyi. Lalu secepat kilat kubenamkan belati itu ke dadanya. Pelan kuputar gagang belati sebelum akhirnya kucabut dengan hati-hati. Lubang yang menganga langsung teraliri darah segar, menciptakan genangan di lantai kamar. Banjir darah. Kedua matanya mengiba. Tak berkedip. Tetap saja kurasakan perih mendera tatkala kulihat tubuhnya mengejang, setelahnya geming. Hening.



Lelaki itu, suamiku mati di tanganku. Mati dengan caraku.




“Sekarang katakan padaku, Apakah suami yang telah berkhianat dan tidak bisa bertanggung jawab terhadap istri dan keluarganya patut dipertahankan?"



Semua orang yang hadir di ruang sidang itu terdiam. Semua mata tertuju pada sosok perempuan yang duduk gemetar di kursi pesakitan.



***




Gerimis kecil berjatuhan ketika kakiku menapaki jalan di pemakaman. Pohon-pohon kamboja berdiri rindang, menaungi nisan-nisan yang berderet panjang. Di deret paling ujung, agak menyendiri, tampak olehku sebuah makam yang masih baru. Bergegas langkahku ke sana. Gundukan tanah merah basah dengan taburan bunga yang mulai layu di atasnya. Aku terpaku menatap sebuah nama terukir di nisan yang beku. Nania Salindri.



Nania, teman masa kecilku. Dia ditemukan meninggal dalam keadaan sangat mengenaskan, mati bunuh diri dengan cara memotong nadi. Kabar yang kuketahui, sejak dipenjara atas pembunuhan yang dilakukannya, dia mengalami depresi, lalu memutuskan mengakhiri hidup dengan caranya sendiri.



Hening. Desau angin dingin menyergap tubuhku. Langkahku mendekati nisan, seikat bunga mawar putih kuletakkan di atas pusaranya. Mawar kesukaannya. Mawar yang katanya melambangkan perjuangan yang tak henti, meski kini dia telah tidur abadi.



Hujan mulai turun. Butiran-butiran air tercurah menimpa ranting-ranting dan dedaunan kamboja, kemudian memercik menabrak nisan-nisan di pemakaman. Bebatuan dan rerumputan nampak basah. Tubuhku kuyup. Kenanganku kembali ke masa dulu, ke masa di mana aku dan dia pernah menghabiskan masa kecil di panti. Belajar dan bermain bersama. Satu yang selalu kuingat tentangnya, dia begitu mencintai hujan. Dia akan betah berlama-lama menikmati hujan dari bibir jendela, mendengarkan suaranya yang katanya bagai nyanyian kegalauan. Atau di saat yang lain, dia akan berlari ke tengah lapangan, lalu berdiri dengan tangan terentang, wajahnya menatap langit. Matanya terpejam. Diam. Meresapi setiap tetesnya.



Tiba-tiba mataku menghangat. Tak terasa bulir-bulir airmataku berjatuhan tanpa bisa kutahan, mengalir bersama deraian hujan. Dan saat ini aku baru mengerti kenapa kau begitu mencintai hujan. Sebab di dalam hujan tangismu tak kelihatan.



***





sept' 2010


dalam hujan



gambar dicopas dari http://i723.photobucket.com/albums/ww231/scene90215/girl-and-rain-dark-1.jpg

26 Agustus 2010

Doris

Galeri utama ini tampak megah dengan pilar-pilar penyangga atap yang berdiri gagah. Bola-bola lampu kristal berukuran sedang tergantung tepat di tengah ruang. Juga ada beberapa guci keramik yang sepertinya sengaja ditata sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan klasik. Kuedarkan pandang ke seluruh ruang, sore ini tampak lengang. Hanya ada beberapa pengunjung yang terlihat mengamati beberapa lukisan yang terpajang di sepanjang dinding. Mereka melihat-lihat lukisan satu demi satu secara bergantian, menggeser posisi dengan perlahan.

Sementara seorang gadis di sebelahku masih berdiri terpaku. Matanya menatap lurus ke lukisan di depannya, seakan ingin menembus kanvas dan masuk ke dalamnya. Sudah hampir satu jam dia terdiam. Aku jadi berpikir kira-kira apa yang membuatnya tampak begitu tersihir, hingga matanya terus menatap, tak sekalipun mengerjap.

Kembali kulihat lukisan itu. Sebuah gambar pemandangan yang menurutku sederhana. Dermaga tua dengan latar belakang senja yang hampir purna. Ada beberapa kapal kecil penangkap ikan yang tertambat di bagian kanan. Sementara air laut tampak tenang dengan pendar sinar keemasan. Lalu ada sosok lelaki tua yang berdiri di ujung dermaga, bertopi pet, dengan tangan kiri mendekap dada, sementara tangan kanannya memegang tongkat yang menopang tubuh rentanya. Pandangannya ke arah siluet jingga tepat di garis cakrawala. Itu saja.

“Begitu berbicara,” kudengar dia menggumam. Takjub.

Aku menoleh ke arahnya. Matanya masih menatap serius ke lukisan, tapi kali ini disertai senyuman.

“Pilihan tema yang pas, komposisi warna yang juga pas. Begitu hidup. Aku ingin lukisanku seperti itu.” Kali ini pandangannya beralih ke arahku. Matanya berbinar riang, namun sedetik kemudian berangsur hilang, “tapi susah.”

“Ayolah... kamu pasti bisa.” Ucapku seraya meregangkan kedua kakiku. Pegal juga ternyata setelah berdiri cukup lama.

“Ahh... Arya, bilang dong kalau kamu capek berdiri. Nggak usah pakai isyarat begini. Gimana kalau ke Cafe saja. Kita bisa duduk-duduk ngobrol di sana sambil menikmati senja, menikmati lukisan yang sebenarnya.” Tangannya menggamit lenganku. Lalu langkah kami beranjak keluar dari galeri utama, meninggalkan gambar si lelaki tua di ujung dermaga.

****

Doris namanya, lengkapnya Doris Septia. Aku mengenalnya belum lama, tepatnya hampir satu bulan lalu. Ketika itu kami bertemu di Pulau Tidung, yang masih merupakan gugusan kepulauan Seribu. Kebetulan aku dan dia tergabung dalam satu paket wisata yang sama. Aku menikmati secuil waktu di sela-sela jadwal kegiatan juga deadline pekerjaan yang mencekikku, sementara dia berlibur sekalian observasi untuk obyek lukisannya.

“Aku ingin membuat lukisan tentang keindahan bawah laut.” Ucapnya ketika berada di atas kapal yang membawa kami ke pantai Karang Beras, tempat paling tepat untuk snorkeling dan diving, menikmati pemandangan bawah laut.

“Bukankah obyek lukisan itu luapan imaji pelukisnya? Seperti Da Vinci dengan Monalisa, atau Basuki Abdullah dengan Nyi Roro Kidul?” Tanyaku. Lukisan adalah salah satu obyek seni yang sampai sekarang masih menjadi misteri, sulit kumengerti.

“Kebanyakan memang begitu, tapi aku belum seimajinatif mereka, dan aku masih belajar bagaimana membuat lukisan yang nampak bernyawa, serasa nyata. Apalagi ini tentang kehidupan bawah laut, setidaknya aku tahu wujud karang, batu koral juga habitat air itu seperti apa. Biar nggak kelihatan banget bodohnya hahaha....“ Tawanya lepas ke langit luas. Tubuh mungilnya terguncang seirama kapal yang melaju kencang.

Begitulah, dari pertemuan itu akhirnya kami berteman. Sifatnya yang ramah dan easy going membuat hubungan pertemanan ini terasa menyenangkan. Kadang di waktu luang akhir pekan, kami bertemu sekedar ngobrol sambil minum kopi atau duduk-duduk di taman kota seraya menikmati senja.

***

Hot Coffee sama Orange Juice ya mbak,” ucap Doris sambil menyerahkan daftar menu, si pelayan mengangguk dan meninggalkan meja.
“Tumben, pesan Orange Juice. Sudah bosan minum kopi?”
“Nggak juga.”
“Lalu?”
“Lagi pengen aja. Keluar dari kebiasaan.”
“Aneh.”
“Apanya?”
“Nggak apa-apa.”
“Kok?”
“Nggak biasanya.”
“Kan tadi aku bilang, keluar dari kebiasaan.” Kepalan kecil tissue dilemparkannya ke arahku. Wajahnya merengut. Aku tergelak melihatnya.

Bookscafe tampak ramai. Hampir seluruh meja terisi. Tampak beberapa pasang remaja asyik menikmati obrolan mereka. Ada juga yang memanfaatkan hot spot gratis dengan berselancar di dunia maya. Sementara meja di sudut ruang bagian dalam, seorang lelaki paruh baya khusyuk dengan rokok kreteknya, menikmati nikotin di setiap hisapannya.

Pelayan tadi tampak berjalan menghampiri meja kami, kali ini tangan kirinya membawa nampan berisi minuman yang kami pesan. Setelah meletakkan minuman ke atas meja dan basa basi sekedarnya, pelayan itupun berlalu meninggalkan kami berdua.

Kuaduk kopiku pelan, lalu kureguk dengan perlahan. Sementara Doris sibuk memainkan jemarinya di bibir gelas, matanya jauh memandang ke angkasa. Sengaja kami memilih meja persis di sebelah pintu masuk, sehingga kami bisa menikmati pemandangan luar dari balik kaca. Menikmati senja, lalu lalang orang-orang juga kendaraan yang melintas di jalanan yang tak begitu luas.

“Candhikkala. Fenomena alam yang selalu mempesona”. Gumamnya lirih, “seperti halnya terbit fajar. Yang selalu melahirkan semangat baru.”

Kulihat langit merona jingga. Pendar sinar matahari kuning keemasan memantul di kaca-kaca, sewarna dengan lampu-lampu jalan dan kendaraan yang mulai menyala.

“Aku dengar kamu lagi menyiapkan pementasan. Lakon apa?” Ucapnya membuka percakapan.
“Perjalanan Kehilangan.”
“Noorca M. Masardi?”
“Yup.”
“Sudah sampai mana?”
“Baru proses reading . Terus lagi mengeksplorasi musiknya biar dapat yang pas dengan jalan ceritanya.”
“Memang kapan rencananya?”
“Mungkin sekitar awal tahun, tiga bulan lagi. Masih menyesuaikan jadwal dengan teman-teman yang lain. Kebetulan aku juga sibuk menyelesaikan beberapa naskah untuk kumpulan cerpenku.”
“Wah... udah mau terbit ya. Bisa dapat gratis nih.”
“Pastinya. Tapi aku minta salah satu lukisan kamu untuk desain sampul bukunya ya hehehe....”
“Curang. Nggak mau rugi.”
“Zaman sekarang mana ada yang gratis Non.” Mataku mengerling.
“Dasar.”

Kami tertawa bersamaan. Gelap perlahan mulai merayap. Hiasan lampu kelap-kelip yang merambat di dinding Cafe menambah suasana lebih gemerlap.

“Oia, kamu sendiri gimana? Kabar lukisanmu?”
“Buruk.”
“Buruk?”
“Iya. Lukisan yang aku inginkan belum selesai juga sampai sekarang.”
“Masalahnya?”
“Entahlah, aku merasa tak mampu menyelesaikannya.”
“Kenapa?”
“Masih ada yang kurang menurutku. Tapi aku tak tahu dimananya.” Wajahnya putus asa.
“Mungkin kamu perlu break sebentar. Jangan terlalu dipaksakan.” Aku tak bisa menyarankan apa-apa, karena aku sama sekali buta dengan dunia melukisnya.
“Apa yang aku lihat waktu diving dulu sudah coba aku tuangkan semua. Karang, ikan-ikan, juga habitat laut lainnya. Aku masih mencari ide kira-kira obyek apa lagi yang pas buat menyempurnakannya.” Jelasnya padaku.
“Iya. Pasti nanti ketemu jalannya. Aku tahu kamu bisa.” Ucapku meyakinkannya.
“Makasih ya. Oia, kapan-kapan boleh kan ikut kamu latihan. Siapa tahu aku pindah haluan, tertarik bermain teater hahaha....”

Doris. Dia pintar sekali mengalihkan pembicaraan. Seakan tidak ingin orang lain ikut merasakan kegundahan dalam hatinya. Wajahnya selalu nampak ceria, meski kadang kulihat matanya yang pualam seperti menyimpan misteri yang kelam.

***

Siang yang mendung. Matahari seakan enggan menampakkan diri. Aku masih berkutat dengan keyboard komputerku, ketika tiba-tiba ponselku berbunyi. Sms masuk.

Nama Doris tertera di layar ponselku. Klik.

11-Oct-10 10.53 am
Arya, aku tahu bagaimana caranya menyempurnakan lukisanku. Sepertinya aku harus lebih akrab lagi dengan kanvasku, biar ide dalam kepalaku ini bisa lebih menyatu. Ahh... jadi nggak sabar untuk menyelesaikannya dan melihat kau terkesima melihat hasil akhirnya.

*****

Sudah tiga hari sejak smsnya yang terakhir, ponsel Doris tidak bisa dihubungi. Nomornya tidak aktif. Panggilanku tak terjawab, smsku semua tertunda. Aku jadi bertanya-tanya, kira-kira pergi kemana dia. Apa mungkin dia travelling lagi, mencari inspirasi untuk obyek lukisannya? Tapi kenapa dia tidak meninggalkan pesan apa-apa?

Kucoba mengingat-ngingat pertemuan terakhirku dengannya, mungkin dia pernah bilang akan kemana dan aku tak mendengarkannya. Tapi seingatku dia tidak mengatakan apa-apa, selain tentang lukisan yang sedang dikerjakannya. Sekali lagi aku coba meneleponnya, sia-sia. Tak ada jawaban. Aku mulai gelisah.

Aku harus bertemu dengannya, memastikan dia baik-baik saja. Kubongkar lagi tumpukan brosur di laci meja, aku ingat dia pernah menuliskan alamat kost-nya ketika kami berpisah setelah dari Pulau Tidung dulu. Ketemu. Jalan Sawo Atas No. 15 Jakarta Selatan. Tanpa menunggu lama, aku langsung menuju ke sana.

Sesampainya di sana, tampak sepi. Kata Bapak si penjaga rumah, dia juga sudah beberapa hari ini tidak melihat Doris. Tapi tak ada pesan yang ditinggalkan seperti halnya ketika dia akan lama bepergian. Akhirnya aku meminta ijin juga bantuan pak penjaga untuk membuka paksa pintu kamar Doris.

Satu. Dua. Tiga.

Brakkkk!!

Pintu terbuka. Pelan aku masuk ke dalamnya. Segalanya tampak tertata sesuai dengan tempatnya. Tumpukan buku-buku di atas meja, tempat tidur yang rapi juga beberapa pigura yang terpasak di dinding kamar. Lalu kuas dan cat lukisan yang mulai mengering tergeletak di atas meja, berdampingan dengan kanvas berukuran besar yang masih terpasang kaki tiga tiang penyangga. Dekat jendela.

Pandanganku beralih ke kanvas. Kulihat gambar panorama bawah laut yang pernah dia ceritakan padaku beberapa hari yang lalu. Ada karang-karang, bebatuan koral, juga ikan-ikan yang berenang. Tapi kali ini ada yang beda. Ada sosok perempuan anggun melayang di dalamnya. Kaki kirinya lurus memanjang sementara kaki kanannya menekuk ke depan bertumpu pada lutut kaki kirinya, menutupi bagian kewanitaannya. Kedua tangannya menyilang di dada, menutupi kedua payudaranya. Samar-samar sisik keperakkan berkilau di sekujur tubuhnya. Sementara kedua ujung sirip tampak berkibar di sela-sela ikan-ikan yang berenang mengelilinginya, seperti selendang yang menjuntai dari balik punggungnya. Rambutnya yang panjang sebahu terurai mengikuti arus air. Lalu mataku menangkap wajah yang sangat kukenal, wajah yang belakangan ini sangat kuhafal. Bibir tipis, hidung lancip, juga sepasang mata pualam.

Kukerjapkan mataku berulang kali, berharap aku sedang berhalusinasi. Tapi sosok itu tetap ada, begitu nyata. Tiba-tiba aku teringat tentang sosok Dewi laut mitologi Yunani yang pernah aku baca dalam ensiklopedi. Mungkinkah dia?
Entahlah....

***

Tamat
13062010 ; 04.10 pm
Ditemani ‘Princess of the night’ by Richard Clayderman & teh manis hangat.

Doris : Dewi laut bulan dalam mitologi Yunani. Anak dari Okeanos dan Tethys. Juga merupakan istri Nereus.

Gambar di Copas dari http://dezzan.deviantart.com/art/Deep-mystery-155499244?q=boost%3Apopular+deep+mystery&qo=10

01 April 2010

Kang Sastro

Kamar kontrakan paling ujung itu masih tertutup rapat. Lampu bohlam lima watt yang tergantung dalam ruang itu masih tampak menyala, terlihat dari lubang udara tepat di atas pintu yang menghadap ke utara. Sudah dua hari ini Kang Sastro, penghuni kamar itu tak terlihat, mungkin dia pergi di malam gelap ketika semua penghuni kamar khusyuk terlelap. Lalu pulang menjelang fajar kemudian dia diam mendekam dalam kamar. Mungkin dia tidur? Entahlah…

***


Kang Sastro, begitu orang-orang memanggilnya. Usianya kira-kira hampir empatpuluh tahun. Aku tahu namanya dari ibuku, katanya orang-orang sini tidak pernah tahu siapa nama aslinya, cuma suatu kali dia pernah berkata kalau dirinya itu bukan buruh atau pedagang seperti kebanyakan penghuni kontrakan yang lain, tetapi dia senang sama yang namanya seni, makanya pekerjaannyapun tidak tentu alias serabutan. Kata ibuku, dia pernah melihat Kang Sastro ngemper di dekat stasiun jadi pelukis, pernah juga melihatnya ngamen di terminal nembang geguritan campursari, juga adakalanya baca puisi yang ia tulis sendiri. Pernah juga tetangga kontrakan melihatnya main tobong, ludruk, atau jadi penabuh kendang di acara tayub-an, pokoknya apa saja yang penting nyastro katanya. Ditambah penampilannya yang nyentrik mirip seniman, maka orang-orang memanggilnya Kang Sastro seperti yang aku tahu sekarang. Bisa jadi memang dia seniman.

Kang Sastro itu agak tertutup orangnya, aku jarang melihat dia ngobrol dengan para bapak yang suka kumpul malam-malam di warung kopi di mulut gang. Aku juga jarang melihatnya bercengkrama dengan penghuni kontrakan yang lain. Aku lebih sering melihatnya terdiam, tak banyak bicara tapi tangannya bekerja, kadang menulis atau melukis sesuatu. Tapi anehnya, dia senang bercerita untukku. Dia akan cerita apa saja, dan aku betah berlama-lama mendengarkannya. Kadang dia mendongeng legenda Timun Mas, Joko Tarub, Ajisaka, Ande-ande Lumut, Sangkuriang, juga cerita rakyat lainnya. Kadang tentang lakon tobong atau ludruk yang baru saja dimainkannya. Tapi terkadang dia juga cerita tentang perjalanan hidupnya. Aku tak tahu kenapa dia begitu terbuka padaku, mungkin dia percaya padaku, dia yakin aku tidak bakat jadi penyebar isu. Terlebih lagi, mungkin karena aku bisu, dan itu alasan yang paling masuk akal bagiku.

Pernah dia bercerita tentang istrinya yang katanya dulunya kembang desa di kampungnya yang pada akhirnya pergi meninggalkannya karena tidak mampu bertahan dengan gaya hidupnya, dengan kemiskinannya. Juga tentang anak perempuan satu-satunya yang menderita leukemia yang akhirnya meninggal dunia karena tak ada biaya untuk pengobatannya, bahkan untuk biaya pemakamannya. Lalu kepergiannya merantau ke Surabaya demi menghapus segala kenangan tentang masa lalunya yang begitu menyakitkan baginya. Pun tentang hubungannya dengan pemain tayub yang katanya janda beranak dua yang ditinggal pergi oleh suaminya yang akhirnya mendekatkan keduanya karena merasa sama-sama senasib ditinggalkan oleh orang yang mereka cinta. Semuanya dia ceritakan padaku, pada kebisuanku.

Tapi tatkala Kang Sastro sedang tidak ingin bercerita, maka aku akan menemaninya menulis maupun melukis. Aku akan duduk di dekat pintu, menyandar sambil memeluk lutut. Lalu kang Sastro dengan tekun mengerjakan pekerjaannya tanpa suara. Diam. Dan itu bisa berlangsung berjam-jam. Sering aku berkhayal untuk menepis kebosanan. Ketika Kang Sastro sedang asyik menulis, kubayangkan tiba-tiba dia membeku dan ada yang retak di kepalanya, lalu huruf-huruf berjejalan berebut keluar dari dalamnya. Ada yang melompat, ada yang terbang, ada pula yang meluncur berpegangan pada rambut panjangnya. Lalu mereka semua akan berkumpul di atas selembar kertas di atas meja, menari-nari membentuk formasi, membentuk rangkaian kata. Tanpa pena.

Atau manakala dia sedang melukis, kubayangkan warna-warna menganak sungai keluar dari mulutnya, hidungnya, telinganya bahkan dari kedua matanya. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Warna-warna pelangi itu dengan teratur mengalir mengikuti alur tangannya dan berakhir di kanvas di hadapannya. Mereka saling memuncratkan diri ke atas kanvas, membaur -tak teratur, membentuk gambar-gambar abstrak yang sarat gradasi warna. Tanpa kuas.

Dan khayalanku akan berakhir dengan sendirinya manakala kudengar teriakan ibu yang memanggil namaku. Yang merupakan tanda bahwa ibu sudah pulang dari berjualan di pasar, dan aku harus segera pulang menemuinya. Seperti biasanya Kang Sastro akan tersenyum lalu berbicara pelan padaku “Wis nduk, pulang sana. Ibumu pasti membawakan banyak jajanan untukmu.” Aku hanya mengangguk dan beranjak pulang dengan tergesa. Meninggalkannya.

***

Bunyi gaduh membangunkan tidurku dan kulihat ibu sudah tak ada di sebelahku. Langsung aku menghambur keluar ke tempat kegaduhan itu berasal. Sejenak aku terhenyak, hari masih gelap tapi kenapa banyak sekali orang-orang berkerumun di depan kamar kontrakan Kang Sastro. Terus ada Pak RT dan Pak Tarno si pemilik kontrakan. Aneh, tidak biasanya begini. Pasti ada sesuatu yang terjadi.

Kucoba mencari-cari sosok ibuku di antara kerumunan itu. Kulihat ibu berdiri di depan kamar Budhe Sumi yang letaknya tepat di sebelah kamar Kang Sastro. Aku langsung berlari padanya. Ibu sertamerta memelukku dan berbisik kalau Kang Sastro sudah tiada. Katanya lagi, Budhe Sumi curiga karena mencium bau busuk yang menyengat dari kamar Kang Sastro, lantas dia melapor ke Pak Tarno -pemilik kontrakan. Makanya Pak Tarno meminta bantuan bapak-bapak untuk mendobrak pintu kamar Kang Sastro. Dan setelahnya mendapati Kang Sastro tergeletak sudah tak bernyawa. Setengah tak percaya, aku berlari menerobos kerumunan itu. Sesampainya di pintu, aku terpaku.

Kulihat tubuh Kang Sastro tergeletak seperti yang diceritakan ibu. Diam, layaknya orang yang pulas tertidur. Kulihat ada sesuatu yang mengalir dari mulutnya, hidungnya, telinganya bahkan dari kedua matanya. Cairan kental berwarna pekat. Tapi bukan warna-warna pelangi yang sering kubayangkan. Bukan pula hitam. Tapi darah.


-tamat-

akhir maret 2010

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP