29 Juli 2009

teruntuk untukku

jam dinding itu tetap saja begitu
jarumnya tak pernah lelah merayap
meski malam beranjak lelap, senyap
sementara…
detaknya tak henti menggema di telinga
menjelma cemas disetiap tarikan nafas

sudahkah kau buat dirimu berguna?

(2009)

Sonet : Siang itu

Matahari begitu tinggi ketika kita kembali
melewati perempatan jalan menuju
rumahmu, sementara debu terlihat menari
mengikuti kemana angin pergi ‘ada orang gila,’ ucapmu

pelan. Seorang tua berdiri membungkuk
berambut ikal dengan pakaian kumal, bertelanjang kaki
kedua tangannya saling bertaut dengan kepala menunduk
‘mungkin dia terobsesi menjadi padi, yang semakin berisi

semakin merunduk’ kataku lalu mempererat
genggaman tanganku. Sejenak kau berhenti,
kepalamu mendongak menantang panas yang kiat menyengat,
senyum tipis menghiasi bibirmu ‘pasti dia malu dengan matahari.’

Lelaki tua itu tiba-tiba menengadah
sementara kaki kita semakin jauh melangkah

(2009)

11 Juli 2009

Nonet : Di Perpustakaan

/1/
“Rumahku selalu terbuka
untukmu menjelajahi
dunia kata.” Itu
yang selalu kau
ucap, setiap
kali aku
kembali
pada
mu


/2/
Deretan buku-buku itu
tanpa lelah merayuku
untuk memilihnya dan
berpetualang di
dalamnya lalu
memaknai
setiap
kata
nya


/3/
“Sudah dapat apa yang kau
cari? Jika belum, maka
telusuri setiap
kalimat sampai
tamat, cobalah
endapkan dan
rasakan,”
kata
mu


/4/
Notaku telah terisi dan
kini tiba saat pergi.
Kupandang lagi deret
buku itu. “Aku
akan selalu
merindumu
sahabat.”
Bathin
ku


/5/
“Terimakasih untuk kata
dan makna yang kau beri
semoga hadirku tak
membuatmu bosan.”
pamitku “Tentu,
sama-sama,”
terucap
tulus
mu


(2009)

09 Juli 2009

Kesetanan (full version)

1
“Maafkan aku Ayah, aku terpaksa melakukan ini.” Ucapku seraya menghujamkan pisauku tepat ke jantungnya. Seketika darah segar muncrat dari dadanya. Tubuhnya terjengkang dan untuk sejenak mengejang kemudian tenang. Mungkin nyawanya sudah hilang, terbang. Aku tersenyum penuh kemenangan. Puas.

Sementara itu di sudut kamar, ibu tiriku berdiri mematung, terpana melihatku. Pucat. Ahh, makin cantik saja, tatapku nyalang.

“Akhirnya tak ada yang menghalangiku lagi.” Ucapku lalu menghampiri ibu tiriku yang masih terpaku.

“Kau pikir aku cemburu? Tidak!! Aku hanya tidak rela tubuhmu dinikmati olehnya.” Pekikku seraya memandang jijik wajah ayah yang tak bernyawa.

“Don, kumohon…” pintanya memelas

“Memohon apa? Kau ingin aku membunuhmu juga?” tanyaku, “Hmm, sedang kupikirkan caranya agar kau merasakan sakitnya hatiku karena telah mengacuhkanku.”

Aku diam sejenak. Ibu tiriku mulai terisak.

“Ahh, tentu tidak sayang, aku tidak setega itu,” ucapku melembut. Kubelai pipinya yang kencang, lalu jemariku menari menyusuri lehernya yang jenjang.

“Don, jangan lakukan ini padaku. Donita kumohon…”.

Kubungkam bibirnya yang ranum dengan cium, kulumat penuh kesumat. Ibu tiriku berontak, darahku menggelegak. Isak yang menyesak membuat birahiku semakin memuncak.

“Donita, kumohon….”

Kutatap mata ibu tiriku yang sembab. Aku terdiam sesaat.

“Aku takkan melukaimu asal kau menurut padaku,” ucapku dingin seraya mendorongnya ke ranjang.

“Tapi…”

“Sudahlah, kau milikku sekarang.” Kataku lalu kuciumi ibu tiriku membabi buta dan kujelajahi setiap lekuk tubuhnya. Tak kuperdulikan mayat ayahku yang teronggok kaku di dekat pintu.

Kurasakan sensasi kesetanan kala bibirku berpagut mesra dengan rintihnya, nafasku menderu senada detak jantungnya dan aliran darahku sederas lelehan airmatanya, bergulat peluh, berpacu desah, beradu irama hingga kata tak lagi bermakna dan suara tak lagi berjiwa.

“Arrrghhhhhh……”

Hatiku gemas, tangannya kuremas, tubuhku terkulai lemas, dan mulutku menyeringai puas. Kesetanan.

****

2
“Tok… tok…”

Suara ketukan membuatku tersentak. Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Kulihat ibu tiriku tergolek kelelahan. Telanjang. Aku tersenyum penuh hasrat melihatnya. Kukecup lembut bibirnya.

“Tok… tok…”

Ketukan itu terdengar lagi.

“Siapa sih yang datang malam-malam begini.” gerutuku sebal seraya bangkit dan berpakaian lalu keluar, melewati mayat ayahku yang masih tergeletak di lantai kamar.

“Tok… tok…”

“Iya, sebentar……” Seruku. Kuputar kunci pintu depan dan kubuka dengan kasar. Seketika aku tertegun melihat sosok anggun yang berdiri didepanku.

“Bunda, kenapa datang kesini?” tanyaku gelisah.

Hatiku deg-degan, badanku menggigil gemeteran, setengah sadar setengah pingsan, mulutku meracau tidak karuan.

“Bunda, aku terpaksa membunuhnya. Aku terpaksa membunuhnya…”

Aku tak tahu sudah berapa puluh kali kuteriakkan kata-kata itu. Aku tak sadar sudah berapa lama mulutku meracau kesetanan. Sampai kurasakan dekapan yang sangat kukenal. “Bunda…” gumamku lega.

Tapi kelegaanku cuma sekejap. Kurasakan cengkeraman keras tangan bunda di bahuku. Matanya menatap lurus menembus retinaku.

“Jadi kau sudah membunuhnya?”

Tak terdengar nada sendu dalam tanyanya.

“Kau langsung membunuhnya?”

“Iya, kutikam tepat ke jantungnya.” Jawabku tak kuasa berdusta.

“Bodoh!! Kenapa tak kau siksa saja, hingga Ayahmu merasakan derita. Maka sakit hati bundamu ini terbalaskan!” pekiknya.

Bunda menatapku penuh amarah, wajahnya memerah darah. Aku terperangah. Ternyata perlakuan Ayah telah membuatnya mendendam begitu dalam.

“Sekarang tunjukkan mayatnya!”

Kamipun berjalan ke kamar. Sesampainya di sana, kulihat ibu tiriku siuman.

“Urusi Ayahmu, biar dia menjadi bagianku.” kata bunda seraya menghampiri ibu tiriku. Aku mulai membungkus mayat Ayah yang membiru kaku dengan karpet dan mengikatnya. Sempat kulihat tatapan aneh antara Bunda dan Ibu tiriku. Seperti ada sesuatu yang mengikat mereka. Entahlah.

Lalu aku berbalik arah dan mulai menyeret mayat Ayah, tapi tiba-tiba…

“Buukkkkk…,”

Ada yang menghantam kepalaku, seketika gelap menyelimuti pandanganku.

Aku terhuyung, jalanku sempoyongan, tanganku mencari-cari pegangan dan tubuhku terasa ringan. Pingsan.

****

3
Aku terjaga, tapi sekelilingku gelap tak bercahaya. Kurasakan tubuhku ringan, seperti terbang. Hmm… tidak, aku tidak melayang, masih kurasakan dinginnya lantai menembus kulitku dan rasa sakit yang mendera kepalaku.

Aku mencoba menggeliat, tapi… hei kenapa tangan dan kakiku terikat? Kupaksa berteriak dan berontak. Sia-sia, mulutku tersumbat dan ikatannya terlalu kuat. Sayup-sayup terdengar suara tapi entah darimana datangnya.

“Akhirnya berjalan sesuai rencana”

“Iya, tapi dia benar-benar kesetanan.”

“Itu harga yang pantas kau bayar.”

“Sebegitu mahalkah?”

“Hahaha… bagaimana denganku?”

“Kalau kau lain ceritanya sayang.”

Kemudian terdengar tawa berderai. Seperti ada yang dahaga birahi di sudut tak berpenghuni. Huh, menjijikkan!

“Ayolah… kapan lagi kalau bukan sekarang?”

Nada manja menggema di udara. Kupaksa otakku untuk fokus pada tubuhku. Aku mulai berfikir bagaimana bisa lepas dari ikatan yang menyiksa ini. Sementara derai tawa itu semakin lama semakin menghilang berganti dengan rintihan disertai lenguhan. Kutulikan pendengaranku tapi suara-suara itu tetap saja bisa menembus gendang telingaku.

Kucoba untuk diam memejam. Berharap malaikat maut datang menjemput mencabut nyawaku dengan lembut, tanpa kalut.

****

4
Deru suara mesin mobil mengagetkanku. Kurasakan tubuhku bergoyang seiring mobil yang melaju kencang. Tangan dan kakiku masih terikat, bahkan semakin kuat. Dan seperti ada sesuatu yang besar menghimpit tubuhku. Mungkin aku di dalam bagasi bersama segala macam barang yang mereka bawa pergi.

Dalam keadaan seperti ini aku jadi teringat Ayah. Sungguh malang nian nasibnya. Ditinggal pergi istrinya, mati ditangan anak perempuan semata wayangnya, lalu istri mudanya menghianatinya. Ayah, maafkan aku. Aku tidak sadar kalau ternyata aku dijebak oleh mereka. Mataku menghangat. Ahh… menangispun tak ada artinya sekarang. Aku mencoba menggerak-gerakkan tubuhku dan jemariku meraba-raba sekelilingku. Yang pertama terasa olehku adalah seperti kain yang bertekstur kasar dengan tali-tali yang mengikatnya. Tanpa berpikir keras, aku langsung menduga itu jasad ayahku yang telah tewas. Jadi kami diikat bersama-sama. Aku dan Ayahku -yang mati ditanganku. Hmm… sempurna.

Kurasakan bibirku menarik seulas senyum –entah takut dengan situasi yang kurasa genting atau mungkin aku yang mulai sinting. Aku mulai berpikir, mungkin mereka akan membuangku –bersama Ayahku. Menghilangkan jejak. Potongan-potongan adegan film yang pernah kulihat berkelebat di otakku. Mungkin aku akan dibuang ke jurang, dilempar ke semak belukar, dihanyut ke laut, dilebur dalam kubur atau dibenam di danau yang dalam. Entahlah, semua pilihan terasa begitu menyeramkan… Hufffff!

Tiba-tiba mobil berhenti. Mesin mobil menderu sebentar, lalu tak terdengar. Kemudian pintu dibuka dan ditutup dengan tergesa. Kudengar langkah kaki mendekat lalu seperti membuka bagasi dimana di dalamnya aku berada, tersembunyi. Beberapa saat kemudian tubuhku ditarik keluar dengan kasar.

“Cepat, jangan sampai kita terlambat. Sebentar lagi pagi.”

Terdengar suara yang begitu akrab ditelingaku.

“Iya, ini juga sudah cepat, tapi memang tubuh mereka terlalu berat.”

“Kita seret saja bersamaan, toh jaraknya tidak begitu jauh dari jembatan.”

Jembatan? Dalam keadaan tak wajar aku masih berpikir sadar. Mungkin mereka akan membuatku merasakan terjun bebas ke sungai. Betapa baiknya mereka, karena tahu aku begitu phobia dengan ketinggian. Sungguh benar-benar skenario yang matang.

Lalu kurasakan tubuhku diseret, aku berani sumpah pasti sekujur tubuhku lecet. Kudengar nafas mereka ngos-ngosan, sepertinya begitu kelelahan. Mungkin karena tubuh ayahku yang kelebihan beban, jadi perlu energi tambahan untuk menyeretnya tanpa hambatan. Sedetik kemudian diam. Pasti sudah sampai tempat untukku dieksekusi.

Sesaat tubuhku terangkat lalu terbang. Kurasakan diriku melayang. Ahh, kenapa disaat begini aku jadi teringat Tuhan -yang sudah lama kulupakan. Dia yang datang ke dunia untuk menebus dosa umat-Nya, yang rela disiksa demi kebenaran iman-Nya. Kenangan-kenangan masa kecil bersama Ayah Bundaku saat misa ke gereja mulai berputar di kepalaku, bagai potongan-potongan puzzle yang terhambur. Awur, tak teratur.

Tiba-tiba otakku terasa bebal, susah mengingat kalimat yang dulu sangat kuhapal. Doa. Iya, untaian kata-kata yang penuh makna. Tapi bagaimana aku bisa memaknai disaat genting begini, bahkan kalimat pembuka doa pun aku lupa. Kalimat sederhana yang terucap di setiap harap.

Sepertinya aku mulai berhalusinasi. Kulihat diriku dari masa dulu. Tubuh kecil berlutut, dengan tangan saling bertaut dan mata terpejam. Diam. Lalu tangan kanan bergerak ke arah dahi, turun ke dada tengah, kiri dan kanan. Membentuk tanda salib. Aku melihat mulut mungilku bergerak-gerak seperti berucap dengan patuh, entahlah aku tidak mendengar secara utuh. Seperti mengucap kata-kata Atas nama…

Aku ingat sekarang. Iya, doa pembuka yang dulu sering kuucap sekian kali dalam sehari.

Atas nama…1)

atas

nama…

Byuuuuurrr

Gereleb sleb…2)

****

5
Byuuuuurrr

Aku tergeragap. Megap-megap. Kurasakan dingin air menyelimuti tubuhku. Seketika aku meronta, tanganku menggapai-gapai udara. Tubuh Ayah. Aku ingat. Ayah harus terlepas dari tubuhku agar aku tidak tenggelam semakin dalam. Kujejak-jejak kakiku berharap bisa terbebas dari belitan tali dan terlepas. Tapi sepertinya sia-sia. Aku kehabisan tenaga. Kurasakan tubuhku menggigil. Mungkin sekarang saatnya Azra-El 3) datang memanggil. Tiba-tiba seberkas cahaya terang menyinari wajahku. Mungkin seperti inilah wujud malaikat, tanpa rupa hanya cahaya. Tapi bukannya Azra-El malaikat pencabut nyawa? Yang kubayangkan seram dengan tubuh raksasa. Bukan terang seperti Gabriel yang datang mewartakan kebenaran. Mataku memicing, tubuhku bergeming. Hening.

“Donita apa-apaan ini!! Kau tak malu dengan matahari. Lihat dia sudah merangkak tinggi sementara kau enak-enakan bergelung dengan mimpi! Bangun!!”

Kubuka mataku perlahan. Kulihat ibu tiriku menatap sinis ke arahku, berdiri dekat jendela kamarku. Ternyata terang yang kulihat tadi adalah cahaya matahari yang menerobos masuk ke kamarku. Bagus. Mimpi yang sempurna, serasa nyata.

“Hei, malah bengong!! Cepat bangun. Dasar pemalas!”

Aku tertegun. Kulihat ibu tiriku mulai mendekat ke ranjang. Tangannya menarik selimutku dengan kasar, matanya nanar.

“Kau pikir bisa seenaknya begini sementara ayahmu pergi? Jangan harap!”

Ahh… Ayah sudah pergi? Spontan aku melompat berdiri. Sepertinya ini saat yang tepat untukku meluruskan mimpiku. Aku harus mencari skenario yang lebih relevan agar mimpiku tak berubah kenyataan. Otot-otot tubuhku terasa mengejang, menunggu saat menggelinjang. Kurasakan sepasang tanduk menyala merah menyembul di sela-sela rambutku yang basah.

Ibu tiriku yang cantik dan kejam, langsung kusergap diam-diam…

*****
Tamat



Jakarta 2009


Catatan :
1). Atas nama Bapa, Putra & Roh Kudus, kalimat yang harus diucapkan sebelum dan sesudah berdoa bagi umat Katholik.
2). Dari baris puisi Misteri Puisi, Man Atek, Kemudian.com Okt 08.
3). Malaikat pencabut nyawa dalam agama katholik, sama dengan Izrail dalam agama Islam.

Okt ’08 – Nov 09, pernah diposting di situs Kemudian.com dengan format 100 kata bersambung.
090709; 04.12am, finishing dengan beberapa editan dari cerita 100 kata sebelumnya.

06 Juli 2009

Aku, Kau dan Sungai Itu

sajak 5-4-3-2-1

‘Adalah sungai yang tak pernah lelah mengurai
kisahnya,’
ucapmu di ujung senja ketika
kita membelah ilalang yang menari gemulai
diterpa semilir angin musim bunga menuju utara
dimana sungai berakhir di muara

Rumpun ilalang itu tak henti bergoyang dan
angin tak pernah lelah membelah sunyi sementara
suara gemericik air menabrak bebatuan
mulai terdengar riuh di telinga kita

Sejenak hening. Kita terdiam. Dan aku tak mampu mengelak
ketika kau tiba-tiba bertanya padaku ‘maukah kau
menjadi mata air untuk anak-anak sungaiku kelak?’


Lalu kita semakin mempercepat langkah, sementara
tangan kita tak pernah lepas satu dengan lainnya.

Diam-diam arus sungai itu berpindah ke mataku, mengalir haru.


(2009)

Nonet : Mungkin

Bulan di atas sana mungkin
tak tahu ada pungguk yang
selalu merindunya
sebagaimana
aku di sini
yang selalu
mendamba
kasih
-mu


(2009)

Trinet : Lelah

/1/
Desah angin
membelah dingin

rindu yang kusemai di renta pijakku
mulai memburai tak sempat kutuai, terkulai

rumpun ilalang
enggan bergoyang


/2/
langit pekat
menjelma isyarat

gerabah yang kucipta mulai lelah menadah
aliran rindu yang menderas di mataku

nada ritmis
gerimis menangis


(2009)

Kau

Pagi;
Kutemukan bibirmu mengapung di secangkir kopi, merekah menunggu mesra lidahku mencecap rasanya

Siang;
Kutemukan tubuhmu menari-nari riang, mengikuti kepulan asap rokok yang bergerak bebas diterpa matahari

Malam;
Kutemukan senyummu di langit hitam, manis serupa sabit bulan yang bersinar dikegelapan.


(2009)
komentar dadakan di puisinya Arther Panther Olii

Selendang Bidadari

Kenapa ujung pelangi tak sampai ke tepi bumi?
Apa mungkin dia merasa paling cantik, cukup dilirik, tak boleh ditarik?

Kalau memang benar begitu, kasihan sekali bidadari itu
Dia pasti sungguh kesepian di kahyangan


(2009)

Me(gawat)i - serupa dialog

+ Adalah bulan yang paling menawan, bersinar dikegelapan. Cahayanya terang hingga pagi menjelang.

- Dan adalah matahari yang selalu memberi, dia terus berbagi hangat tanpa istirahat.

+ Tapi meski bulan tak hangat digelap pekat, sinarnya menerangi malam yang hitam kelam.

- Tapi terangnya itu pantulan sinar matahari, bulan takkan bercahaya bila matahari tak ada.

sejenak hening, terdengar desau angin kering dan anjing yang sesekali mendengking

+ Kau ingat saat bulan Maria, ketika kita mengikrar setia, kau bilang aku yang pertama

- Tentu saja aku tidak lupa, janji setia untuk bersama, tapi pertama tidak harus utama

+ Dan kau bilang aku paling cantik

- Tapi cantik belum tentu menarik

+ Tapi kau kan milikku

- Dan bukan berarti bisa kau rayu

+ Ahh, susah sekali bicara denganmu

- Karena kau tak gunakan logikamu

Wajahmu cemberut, sementara malam terus merayap menuju larut

+ Gawat! Ucapmu tersekat

- Apanya? Tanyaku bingung melihatmu tiba-tiba menutup hidung

+ Bau sekali gubuk kita ini padahal sudah kusemprot pengharum paling wangi

- Kau ini lupa apa tidak mengerti? Bukannya kita sudah lama tinggal di sini, kenapa baru sekarang kau menyadari?

Kau terdiam. Tatapan tajam matamu menyirat dendam.

Sementara di luar sana kecoa masih saja berkerumun, mengerubuti sampah yang semakin menimbun.


(2009)

Penat

Tik…tak…tik…tak…
Waktu seakan enggan bergerak
pun merangkak
tak hendak

Aku di sini
menanti
mati

(2009)

Sajak Gagu

sehelai kertas menengadah menatapku pongah

: penaku beku sekaku jemariku


(2009)

Magali, Siang Hari (versi cerita)

Matahari tepat di atas kepala ketika aku tiba di Magali, sebuah rumah makan di daerah Fatmawati. Kulirik jam di pergelangan tanganku, jarum panjang dan pendek sama-sama menunjuk ke atas, yang berarti tepat jam 12. Hmm…semoga kali ini aku tidak terlambat. Doaku dalam hati mengingat setiap janji bertemu dengan Radya, aku selalu tidak tepat waktu.

Kuparkir mobil lalu bergegas masuk ke dalam. Tak kulihat sosok Radya di sana, mungkin dia sedang dalam perjalanan, jam 12 juga baru beberapa menit lalu. Magali belum begitu ramai, baru beberapa meja yang terisi. Kupilih meja di sudut ruangan dekat tangga yang kebetulan kosong, agar pandanganku bebas ke mana saja dan tentu saja agar aku bisa melihat kedatangan Radya.

Kupesan minuman untuk mengisi waktu menunggu Radya. Setelah dia datang, baru kami akan memesan makan siang. Tak berapa lama pelayan mengantarkan pesananku. Kopi hitam tanpa gula dengan cangkir keramik warna coklat tua. Entahlah, akhir-akhir ini aku semakin kecanduan dengan serbuk hitam bernama kopi.

Ku reguk kopiku perlahan, pandanganku kualihkan ke seluruh ruangan. Ada sepasang muda-mudi duduk di dekat pintu masuk, mereka asyik bercengkerama tertawa, kadang terkikik disiang yang terik. Sepertinya mereka sedang dimabuk asmara, tangan mereka tak pernah lepas satu dengan lainnya. O, betapa indah dunia.

Lalu mataku beralih ke meja sebelahnya, Ada tiga orang bapak-bapak berdiskusi sambil sesekali meminum lemon tea, mereka tampak lelah dengan wajah-wajah payah. Mungkin mereka sedang membicarakan bisnis, masa depan perusahaan atau entahlah aku tak tahu pasti. Hanya kadang kulihat seseorang dari mereka mencorat-coret agenda seperti menulis sesuatu atau bisa jadi sedang menghitung untung rugi.

Di sebelah mejaku, seorang ibu berjilbab mengunyah makan siangnya dengan lahap, sesekali terdengar denting sendok beradu dengan piring. Kulihat menu makannya sederhana, nasi rames ala Magali plus es teh manis, tapi sepertinya ia sangat menikmatinya. Mungkin ini yang dinamakan hidup tanpa beban, yang terasa hanya kenikmatan, tak terkecuali saat makan.

Lima belas menit berlalu, Radya belum tampak dalam pandanganku.

Lalu aku beralih ke deretan foto-foto yang terpajang di sepanjang dinding. Wajah-wajah di dalamnya sangat ekspresif sekali, ada yang tersenyum, tertawa bahkan diam dengan tatapan tajam. Semua pasang mata dalam pigura itu seperti tertuju padaku, seakan bertanya siapa yang aku tunggu. Jengah dengan tatapan itu, pandanganku beralih pada meja di depanku.

Ada vas bunga dengan setangkai mawar merah muda di atas meja. Ada asbak berbentuk dadu menanti puntung rokok yang akan berubah abu. Ada secangkir kopi tanpa gula yang setia tanpa pernah bertanya.

Dan tiga puluh menit berlalu, tapi Radya belum muncul juga. Tak biasanya dia terlambat begini lama. Atau mungkin dia lupa. Aku mulai gelisah. Tangan kananku menari-nari di bibir cangkir. Kureguk kopiku yang tak lagi panas hingga tandas. Tiba-tiba…

Praaanng!!!

Cangkir yang ku pegang terlepas, kurasakan tiba-tiba tubuhku lemas. Hatiku diliputi rasa cemas. Was-was.

***


Siang begitu terik, panas matahari menyengat kulitku. Ubun-ubun kepalaku kurasakan seakan mendidih. Kularikan motorku dengan kencang ke arah Fatmawati, ke Magali tempat pertemuanku dengan Kanthi. Seharusnya saat ini aku sudah sampai di sana, kalau tidak ada kejadian pecah ban di Senen tadi. Terpaksa aku harus mendorong motorku sampai ke tambal ban terdekat dan sialnya lagi tempat itu ramai, jadi aku harus mengantri cukup lama sampai giliran motorku diperbaiki tiba.

Sampai perempatan H. Nawi, lampu merah yang biasanya cuma dua menit langsung berubah hijau kurasakan lama sekali berganti warna. Sementara tanganku mulai gelisah memegang setang motor dan memain-mainkan gas. Mataku tak henti-hentinya menatap tiga bulatan lampu di sisi kiri jalan. Merah, kuning dan…… hijau. Langsung kutancap gas motorku, tak kuperdulikan lagi jarum spedometer yang merangkak tajam. Aku harus cepat tiba di sana. Kanthi, aku tak akan membuatmu terlalu lama menunggu.

Patung kuda sudah terlewati, aku bersyukur dalam hati, sebentar lagi pasti aku sampai di Magali. Sampai pertigaan D’best rambu masih kuning, semakin ku laju motorku berpacu dengan rambu jalan yang mungkin sedetik lagi akan berubah merah. Tiba-tiba dari arah Cipete Raya, Corolla Altis silver masuk ke jalur kiri. Tak ayal, spontan aku menekan rem secara mendadak, tapi sepertinya terlambat.

Braaaakkk!!!

Kudengar suara benturan menggema di telingaku. Kurasakan tubuhku melayang sebelum akhirnya menyentuh aspal. Kulihat motorku tergeletak tak jauh dariku, roda depannya masih berputar-putar. Mobil yang kutabrak berhenti dan seorang wanita keluar dari dalamnya. Tubuhnya gemetar dan tampak panik. Sempat kurasakan sesuatu mengalir deras melewati ekor mataku dan beberapa benda runcing menusuk punggungku, jari-jari tangan dan kakiku mulai kebas, lalu menjalar ke seluruh tubuhku… mataku memejam tenang sebelum akhirnya mati rasa. Tapi sedetik kemudian aku teringat Kanthi. Ohh tidak, aku pasti terlambat.

Aku bangkit dan mendekati motorku, tapi sepertinya tidak bisa aku pakai karena ringsek di sana sini. Magali tinggal beberapa ratus meter lagi, kuputuskan saja untuk berlari. Tak kuperdulikan orang-orang yang mulai berkerumun mengelilingiku. Aku menerobos di antara himpitan tubuh-tubuh yang penasaran melihatku.

Aku berlari sekuat tenaga. Ahhh, kurasakan tubuhku melayang tanpa beban. Lebih ringan daripada saat aku harus menjaga keseimbangan saat melaju di atas motorku. Sudah dekat. Kulihat di kejauhan Honda Jazz merah metalik dengan seorang perempuan berdiri di dekatnya. Itu Kanthi. Ooh tidak, aku terlambat. Dia sudah terlalu lama menungguku. Maafkan aku. Aku berlari semakin kencang dan akhirnya tiba di sana. Aku berhenti sejenak, mengatur nafas.

Kanthi bersandar di body mobilnya. Tangan kanannya mengenggam ponsel, berulang kali dia menekan keypad dan menelpon seseorang. Aku sudah di sini sayang, untuk apa kau menelepon, lalu aku menghambur ke arahnya. Kurengkuh dia dan kuusap rambutnya. Aku di sini, aku sudah di sini, kukecup keningnya dan kuusap lembut pipinya. Tapi, tunggu…apa yang terjadi padaku. Aku tak bisa memegangnya, seperti dalam ruang hampa. Semua begitu nyata di hadapanku, tapi aku tak mampu merasakannya. Tanganku tak bisa menyentuhnya. Sementara Kanthi masih gelisah, berulang kali tangannya me-redial ponselnya, sampai akhirnya terdiam. Bingung. Dia tak bisa melihatku, padahal aku tepat di hadapannya. Merengkuhnya.

****


“Mbak tidak apa-apa?” Suara pelayan membuyarkanku. Spontan aku berdiri. Sadar atas apa yang baru saja terjadi. Kulihat pecahan-pecahan keramik dan sisa ampas kopi berserakan di lantai. Pelayan dengan cekatan membersihkan semuanya.

“Maaf, mestinya hal ini tidak perlu terjadi.” Ucapku gugup, lalu berusaha ikut membantu.

“Nggak usah mbak. Biar saya saja. Sudah menjadi pekerjaan saya,” ucapnya sambil tersenyum, “mungkin mbak bisa pindah duduk di sebelah sana.” Tangannya menunjuk ke meja sebelah yang sudah kosong.

“Terima kasih, nanti minta tolong bill-nya ya, sekalin kerugian ini dimasukkan.” Lalu aku bergeser ke meja sebelah. Duduk dengan gelisah. Mungkin Radya memang tidak bisa datang, dan sebaiknya aku pulang. Sementara pelayan itu sudah selesai membersihkan akibat kekacauanku tadi. Aku masih tak juga mengerti kenapa semua itu bisa terjadi. Pertanda apakah ini.

Sesaat kemudian, pelayan tadi menghampiriku, lalu menyodorkan bill padaku. Kulihat sebentar lalu kukeluarkan selembar uang limapuluhribu rupiah dari dompet hitamku dan kuletakkan di meja. Lalu aku cepat-cepat beranjak ke luar, setelah mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf atas kejadian tadi.

Sampai di pintu keluar, angin siang menampar mukaku. Panas. Debu terlihat seperti menari mengikuti kemana angin akan pergi. Kulihat sepanjang jalan mobil-mobil mengantri, macet. Aku jadi ragu untuk pulang. Mungkin aku akan menunggu Radya sebentar lagi, sambil menunggu jalan lancar kembali, putusku.

“Ada apa Pak, kok tumben jalanan macet begini?” tanyaku pada bapak petugas parkir yang berdiri tak jauh mobilku. Penasaran.

“Anu neng, katanya di pertigaan D’best ada kecelakaan. Motor tabrakan sama mobil. Kata orang-orang yang barusan lewat, yang naik motor meninggal.” Kata si bapak.

Innalillahi. Pikiranku semakin tertuju pada Radya, dia juga sedang dalam perjalanan ke arah sini, semoga dia bukan yang mengalami kecelakaan. Mungkin dia terjebak macet, hiburku dalam hati. Hmm…lebih baik aku meneleponnya, memastikan tidak terjadi apa-apa dengannya.

Kukeluarkan ponsel dari tas. Kutekan angka-angka yang sudah hapal di luar kepala. Ada nada sambung, tapi tidak diangkat. Kucoba beberapa kali, tapi tak juga diangkat. Radya, kamu di mana?

Sia-sia aku meredial berulang kali. Nadanya masuk tapi tak terjawab dan akhirnya mati sendiri.

tut..tut..tut..tut…

Aku semakin resah. Gerah yang kurasa tersamarkan oleh rasa gelisah. Tiba-tiba angin mendesir perlahan. Aneh. Padahal terik begini. Dan seperti ada yang menghembus nafas sangat pelan di sekitar wajahku. Aku seperti merasakan kehadiran seseorang, yang sayangnya tak terlihat olehku. Seperti sesuatu yang tak kasat mata. Radya… Kaukah itu?? Aku masih di sini, menunggu datangmu.

*****


Jakarta 2009
Catatan :
*Magali : tempat makan di Fatmawati
*nama-nama tokoh ambil dari nama wayang : Radheya/Karna (Radya) & istrinya Surtikanti (Kanthi)

Magali, Siang Hari

Ada sepasang mudamudi duduk di dekat pintu masuk,
Mereka asyik bercengkerama tertawa, kadang terkikik di siang yang terik

Ada tiga orang bapakbapak berdiskusi sambil sesekali meminum lemon tea
Mereka tampak lelah dengan wajahwajah payah

Ada seorang ibu berjilbab mengunyah makan siangnya dengan lahap
Sesekali terdengar denting sendok yang beradu dengan piring

Ada pramusaji seliweran mengantarkan makanan
Ada deretan foto terpajang di sepanjang dinding
Ada vas bunga dengan setangkai mawar merah muda di atas meja
Ada asbak berbentuk dadu menanti puntung rokok yang akan berubah abu
Ada secangkir kopi tanpa gula yang setia tanpa pernah bertanya

Ada aku, yang menunggu datangmu


(2009)
*Magali : tempat makan di Fatmawati

Adalah Cinta

Pernah kau bertanya pada senja yang merona.
Mengapa dia biarkan malam diamdiam menyergap
dan menutupnya dengan selubung hitam gelap?
Padahal setelah semua terselimuti, malam pun pergi menjemput pagi.
Karena cinta katanya, dan senja pun berlalu meninggalkanmu yang diam termangu.

Lalu kau bertanya pada daundaun gugur pohon belimbing di taman samping.
Mengapa dia biarkan diri terlepas dari sang induk lalu membusuk menjadi rabuk*?
Padahal setelah daun terurai, akar menyerapnya dan mengedarkan ke dahandahan tempat dia dulu pernah bertahan.
Karena cinta katanya, dan daundaun gugur itupun mematung mengabaikanmu yang nampak linglung.

Dan sore ini, kau bertanya padaku (lagi)
Mengapa aku rela melepas jubah satriaku dan membiarkan diriku ikut mengembara bersamamu?
Padahal kau hanya seorang sudra, pecinta katakata tanpa harta tanpa tahta.
Karena cinta kataku, seraya menyodorkan secangkir kopi tubruk kesukaanmu.

Kali ini kau mengerti dan tersenyum penuh arti.

Adalah cinta, yang dengan rela mengikuti ke mana arah takdirnya.


(2009)
cat.
*rabuk : pupuk dalam bahasa jawa

Menunggu (re-post)

Jenuh kuhitung ulang waktuku, dari detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari dan terus berulang hingga ke tahun, membuatku semakin penat merangkai jejaring ingat.

Akupun lelah menulis kisah, pada dinding kusam di dasar hatiku yang paling dalam, yang takkan terbaca oleh mulut-mulut yang penuh keluh dan tak terlihat oleh mata-mata yang penuh tanya.

Dan kau, masih saja tak perduli denganku. Kau seakan sengaja mengulur-ulur waktu untuk datang padaku. Menikmati setiap detik keresahanku. Bahkan kau enggan memberikan tanganmu untuk kugenggam meski dalam pejam.

Sementara aku mulai tak berdaya, menahan jiwaku yang semakin merindu dan ragaku yang kian melemah, lelah meredam amarah dan menahan kalut yang begitu akut.

Akankah kau datang padaku untuk sekedar ucapkan salam selamat datang atau hanya menatap hampa mataku tanpa bicara? (lalu kau akan merengkuhku dan mengajakku serta)

Entahlah, yang jelas aku masih di sini tanpa ragu, setia menunggu datangmu...

Mungkin kau akan menjelma menjadi Izrail yang datang menjemputku dan menuntunku ke arah cahaya nun jauh di ujung sana.
(atau barangkali kau menyaru menjadi sosok tampan yang tersenyum manis dengan bibirmu yang tipis, menyamarkan taringmu yang menyembul malu-malu dan tatkala kau terlupa kau pun tertawa hingga tanduk merahmu akan menyala, lalu kau akan mencengkeramku dan menyeretku menyusuri lorong gelap nan senyap dan tak berkesudahan)

Aku tak mengerti berapa lama aku harus menanti hingga tiba waktuku berhenti menepi dan menemukan jalanku kembali.
Bersamamu menuju yang abadi

: mati


(2008)
pernah di posting di situs kemudian.com

05 Juli 2009

Cemburu (re-post)

kenapa denganku kau tak mampu bicara
sedang dengannya kau liar bersetubuh dengan kata


(2008)
*mengalami editan, baris ke-3 dihilangkan.

Skak Mat (re-post)

Raga berkata :
aku tidak mau kita seperti rel kereta
selalu terlihat bersama dan searah
tapi kedua rel itu tidak pernah bersatu

Jiwa menanggapinya :
akupun tidak mau seperti kereta
terlalu banyak tempat persinggahan
melelahkan


(2008)
*pernah diposting di kemudian.com

Perempuan itu (re-post)

Aku memuja perempuan itu. Di hadapannya, jutaan katakataku lenyap terhisap ke kedalaman matanya, ribuan warnawarnaku hilang tertelan bening matanya. Aku tak mampu melukisnya.

Aku selalu memuja perempuan itu. Di hadapanku, dialah lukisan Tuhan yang paling sempurna. Dia yang pernah membenamkan tubuhku di rahimnya.

: Ibuku


(2009)

Sajak Pak Tua (re-post)

: Steffanus Olloth Pilling

/1/
Malam kian temaram. Bias cahaya rembulan tak lagi menawan. Bahkan kerlip bintang semakin menghilang, tertutup awan yang berarak beriringan dan mewujud mendung yang menggantung. Kau masih di sini, menikmati malammalammu yang sunyi. Berteman dingin angin yang menghembus perlahan, seirama denyut nadimu yang semakin pelan.

Lalu kau pun akan kembali bercerita, mengurai perjalanan hidupmu yang penuh warna. Tentang masa kecilmu yang nakal dan bahagia di Singkawang sana, hingga masa mudamu yang penuh gejolak di rimba Jakarta. Bertahan hidup dikerasnya Ibukota, bekerja apa saja demi sesuap nasi untuk anak dan istri. Kenangankenangan itu begitu dalam membekas dalam ingatanmu sejelas kerutkerut yang menggurat di kening wajahmu. Iya engkau, wajah tua yang bersahaja, terbungkus tubuh letih yang merintih perih.

Malam semakin kelam. Tangis gerimis melagukan nadanada ritmis. Dingin angin menghembus perlahan. Dan kau masih di sini. Tegar menanti, hingga tiba saat untuk menepi.


/2/
Jari gemetar
lelah toreh sejarah:
Senja menepi

(haiku 5-7-5)


(2008)
pernah di muat di Kompas.com & kemudian.com

Menepis Kenangan

“Beth... Bethari,”

Panggilan itu... panggilan itu sangat kukenal. Aku menghentikan langkah. Menengok ke arah suara yang memanggilku. Kulihat sesosok lelaki berdiri di ujung lorong, dekat ruang ICU. Mengenakan jubah Pastor, tangannya menggenggam Alkitab dan Rosario. Lelaki itu lalu perlahan berjalan ke arahku.

“Radheya?” ucapku tak percaya. Kupertajam penglihatanku ke arahnya. Iya, itu benar dia. Wajah oval dengan rambut ikal, mata sayu, hidung mancung dan bibir tipisnya.

Radheya berhenti dua langkah di depanku. Tangannya terulur padaku, akupun menjabat tangannya, meski agak ragu.

“Apa kabar Beth?” tanyanya setelah usai berjabatan tangan.

“Eh.. aku baik. Hmm... “ jawabku kaku.

“Panggil Radheya aja, seperti biasanya kamu memanggilku.” Ucapnya seakan tahu maksud hatiku.

“Kamu apa kabarnya Rad?”

“Aku baik. Puji Tuhan. Akhirnya setelah sekian lama kita bisa bertemu lagi. Hmm... sepertinya mimpimu terwujud Beth?” ucapnya seraya memperhatikan baju putih seragam dinasku. “Dr Theresia Bethari Ratri. Cocok banget Beth,” lanjutnya membaca nametag yang tersemat di baju seragamku.

“Makasih Rad, ini wujud janjiku. Masih ingat kan, waktu itu aku berjanji untuk tetap menggapai mimpiku?” Tanyaku

“Iya. Aku ingat...” Radheya mengalihkan pandangan ke bangku-bangku yang berjajar di lorong Rumah Sakit.

Sejenak kami terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Oiya, kamu dalam rangka apa di Rumah Sakit ini?” tanyaku setelah mampu menenangkan hatiku.

“Kebetulan ada salah satu jemaah gereja yang dirawat di sini. Tadi kami melakukan perminyakan, karena kondisinya sudah cukup kritis.” jelasnya padaku.

“Di ruang ICU?”

“Iya.”

“Ohh, terus kamu sudah lama kembali ke sini Rad?”

“Aku baru dua bulan di Gereja St. Laurensia. Awalnya aku ditempatkan di Malang sebelum akhirnya diberi kesempatan untuk mengabdikan hidupku melayani di sini. Kembali ke kota ini. Kamu masih misa di St Monica?” tanyanya. “Ahh, masih ingat dia dengan gereja tempat aku dan dia beribadah dulu.”

“Iya, yang dekat dari rumah.” Ucapku sambil melihat jam di pergelangan tanganku. Hampir pukul sebelas siang. “Maaf Rad, aku masih ada kunjungan pasien. Senang melihatmu lagi.”

“Ooh, aku yang mestinya minta maaf, karenaku tugasmu jadi tertunda,” ucapnya dengan nada menyesal, “Datanglah minggu besok Beth, biar kamu ngerasain misa bersamaku.” Tak lupa senyum manis menghias bibir tipisnya. “Oh Tuhan, aku tak tahu apakah harus kecewa atau bahagia, saat kembali melihatnya,” bathinku.

“Semoga tidak ada halangan Rad, tapi aku nggak janji ya,” jawabku gelisah.

“Usahakan,” pintanya memohon.

“Baiklah...akan aku usahakan,”

“Terima kasih. Selamat bertugas kembali Beth.”

“Terima kasih Rad.” Lalu aku permisi menuju ruang Kenanga, tempat aku melanjutkan kunjungan pasien berikutnya.


- - & - -

“Ahh Radheya, setelah aku mulai bisa melupakanmu kenapa kamu hadir lagi dalam hidupku.” gumamku seraya menghempaskan tubuhku di sofa. Hari baru beranjak petang. Kupejamkan mata sejenak, mencoba menghadirkan kembali peristiwa siang tadi. Radheya masih sama seperti dulu, wajahnya, gerak tubuhnya, nada bicaranya, tak banyak yang berubah. Bahkan senyumnya masih sama. Senyum yang telah membuat hari-hariku begitu merindu. Hufff... kucoba hembuskan nafas keras-keras, berharap beban di hatiku ikut terlepas.

Ingatanku melayang beberapa tahun yang lalu, saat pertama kali aku bertemu dengannya. Waktu itu acara retret pemuda-pemudi gereja di Anyer. Saat istirahat, teman-temanku pergi menyusuri pantai atau naik kapal, sementara aku menghabiskan waktuku duduk sendiri di tepi pantai, menikmati desir angin pesisir sambil melihat pemandangan laut lepas.

“Kenapa nggak gabung dengan teman-temanmu?” sebuah suara mengalun merdu di telingaku. Saat itulah aku tersadar, ternyata ada yang duduk di sampingku.

“Heh?” Aku tersentak. Kupandangi lekat-lekat wajahnya.

“Ups, maaf mengagetkan. Namaku Radheya?” tangannya terulur padaku. Bibirnya tersenyum, rambut ikalnya sesekali berkibar ditiup angin.

“Bethari,” jawabku singkat seraya menyambut tangannya.

“Nama yang indah. Orangnya juga seperti dewi, persis seperti namanya Bethari yang berarti dewi.” Ucapnya. Senyumnya tulus tanpa ada maksud menggoda. Kurasakan hangat menjalari pipiku. Aku menunduk menyembunyikan rasa malu. “Kamu suka menyendiri rupanya.”

“Nggak juga, cuma lagi nggak minat gabung dengan teman-temanku. Terus, kamu kenapa nggak gabung dengan mereka?” tanyaku sambil menunjuk ke gerombolan teman-teman yang bermain jetski.

“Hmm... malas ah. Lagi nggak minat juga,” jawabnya menirukan jawabanku. Aku tergelak mendengarnya.

“Sama kalau gitu. Ngomong-ngomong, namamu Radheya. Nama kecil Karna. Lalu...apakah kamu terlahir lewat telinga seperti Kunti melahirkan Karna?” tanyaku semangat.

“Ahaha... menurutmu?” Radheya tertawa memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Matanya menyipit.

“Hmm... bisa jadi.” Jawabku ngawur.

“Yang benar saja. Ibuku bisa pecah kepalanya kalau aku lahir lewat telinga he..he..” Dia tersenyum, lekuk kecil di tengah pipi kirinya menambah manis senyumnya. “Ibuku suka dengan sosok Karna yang ksatria dan berpegang teguh pada janjinya, mungkin harapan ibuku agar aku bisa belajar dari sosok panutannya itu. Kamu suka cerita wayang juga ya?”

“Iya. dulu sering didongengin sama mama,”

“Ohh. Lalu kenapa namamu Bethari. Orangtuamu pasti berharap kau menjadi dewi kebanggaan mereka.”

“Ehehe... mungkin. Atau bisa jadi mamaku tahu kalo aku bakalan cantik seperti dewi.” jawabku ngasal.

“Dasar narsis.” Serunya gemas.

“Biarin...wee.”

“Oiya, aku panggil kamu Beth aja ya, sepertinya lebih enak ngucapinnya daripada Tha atau Ri.”

“Beth. Hmm... boleh juga. Lebih keren he..he.. seperti nama barat kedengarannya,” ucapku setuju.

Lalu kamipun tertawa bersama. Sejak itu, hanya satu orang yang memanggil namaku dengan sebutan Beth, dialah Radheya.

- -

Setelah pertemuan retret itu, aku semakin akrab dengan Radheya yang belakangan aku tahu ternyata dia satu tingkat di atasku. Dia kelas dua SMU, sedangkan aku kelas satu. Meski beda sekolah tapi kami sering bertemu, baik dalam kegiatan gereja atau dia yang sengaja main ke rumahku. Membimbingku belajar, main atau sekedar ngobrol. Dia sangat sopan dan santun dalam bertutur. Dia juga melindungiku dan seringkali berperan menjadi kakak bagiku, mungkin karena Radheya terlahir sebagai anak bungsu, sehingga dia menempatkan aku sebagai adiknya.
Kebersamaan dan perhatiannya yang tercurah kepadaku membuatku merasa ada sesuatu yang tumbuh di hatiku. Perasaan sayang (atau mungkin cinta) dan takut kehilangan yang semakin lama semakin subur. Tapi aku tak pernah menunjukkannya, perasaan itu hanya bisa kupendam dan kunikmati sendiri. Aku hanya berharap Radheya pun merasakan hal yang sama dan mengatakannya padaku suatu hari nanti. Hanya itu harapan satu-satunya yang selalu terlantun di setiap doaku.

Hingga suatu hari satu tahun kemudian, tiba-tiba dia datang padaku.

“Beth... minggu depan aku dan keluargaku pindah ke Yogya, kebetulan Ayah ditempatkan di sana. Aku pernah cerita kan, Eyangku sering sakit-sakitan, makanya kami memutuskan pindah ke sana sekalian untuk merawat Eyang.”

“Secepat itu?” hanya itu yang mampu terucap dari mulutku.

“Iya. Karena kondisi kesehatan eyang sudah menurun. Selain itu, posisi kepala cabang di sana juga kosong, jadi Ayah diminta cepat-cepat mengisinya.” Jelasnya padaku, “Akupun harus segera mengurus surat kepindahanku.”

“Tapi kan tinggal satu semester lagi terus kelulusan. Apa nggak nanggung? Mendingan kamu selesain dulu sampai lulus, baru menyusul ke Yogya.” Protesku.

“Nggak Beth, mungkin justru ini kesempatan baikku. Aku bisa mencari informasi tentang Wedabhakti di sana. Jadi aku bisa mempersiapkannya jauh-jauh hari.” ucapnya bersemangat. Aku bagai tersengat mendengarnya. Fakultas Teologi Wedabhakti, itu salah satu sekolah tinggi untuk menjadi Pastor, sama halnya Driyarkara di Jakarta.

“Rad, aku nggak salah dengar kan?” tanyaku lemas.

“Maksud kamu?” wajahnya berubah bingung.

“Wedabhakti...”

“Oohh... Nggak Beth, kamu nggak salah.”

“Kamu tidak pernah cerita sebelumnya...” gumamku lirih.

“Maafkan aku. Aku baru benar-benar yakin enam bulan terakhir ini Beth. Aku memang menginginkan masuk seminari. Keinginan itu muncul saat aku kecil. Waktu itu masih di yogya, di rumah eyang. Di sana aku mengenal Pater Laurentz, pastor dari Belanda. Beliau sangat dekat dengan anak-anak, penuh kasih dan melayani umat dengan tulus. Aku ingin seperti beliau. Awalnya aku menduga motivasiku hanya karena ingin seperti Pater Laurentz, tapi setelah aku beranjak remaja, keinginan melayani itu malah semakin kuat. Sejak itu aku banyak berfikir dan melihat, hingga tekadku semakin bulat untuk mengikuti jejak Pater Laurentz di jalan Tuhan. Kemudian sekitar setengah tahun yang lalu, aku cerita sama ayah, ibu juga kakak-kakakku, awalnya juga mereka mempertanyakan motivasiku, tapi setelah aku menjelaskan kepada mereka, akhirnya mereka menghargai keputusanku. Bahkan Ayah berpesan, agar aku benar-benar menjalaninya karena panggilan Tuhan bukan karena keputusan sesaat semata.” Radheya terdiam, matanya teduh dan raut mukanya tenang. “Maafkan aku Beth. Aku baru memberitahumu sekarang. Momentnya kurang tepat ya, disaat aku harus pergi meninggalkan kamu, teman-teman dan kota ini. Maafkan aku, aku tahu kamu pasti kecewa mendengarnya. Tapi aku yakin kamu pasti mengerti dengan keputusanku.”

Aku tak tahu harus bagaimana dan berkata apa. Yang aku tahu bahwa detik itu, pupus sudah harapanku untuk mendapatkan cintanya.

“Beth... “ Radheya menggeser duduknya sehingga berhadapan denganku. Tangannya meraih tanganku. Aku masih diam termangu, mencoba mencerna penjelasannya yang baru saja kudengar. “Mimpi kita sama kan? Sama-sama ingin melayani, cuma jalannya saja yang berbeda.”

“Iya.” Hanya itu yang terucap dari bibirku. Lidahku rasanya kelu.

“Kalau begitu, gapailah mimpimu itu Beth, sebagaimana aku berusaha menwujudkan keinginanku. Aku akan selalu mendukungmu Beth, meski dari tempat yang berbeda. Berjanjilah padaku.”

Kutatap wajahnya, begitu tenang begitu damai. Bibirnya membentuk senyuman. “Iya, aku janji.” Ucapku lirih. Mulutku terasa kering, mataku panas.

“Makasih Beth. Be a good girl OK.” Suaranya terdengar lega. Direngkuhnya kepalaku ke dadanya. “Aku akan selalu menyayangimu Beth. Kamu tahu itu.”

“Aku juga, bahkan lebih dari diriku sendiri.” Bathinku. Aku terdiam. Tak kuasa menahan perih yang datang mendera. Genangan di mataku menjebol pertahananku. Aku menangis.


- - & - -

“Andai saja dulu aku mampu mengatakannya dan mencegahnya untuk mengurungkan niatnya.” Sudah tiga hari sejak pertemuanku dengan Radheya, kalimat itu selalu menghantuiku seperti alarm yang setiap saat berbunyi di telingaku.

“Tha... kau baik-baik saja?” suara bernada khawatir terdengar di telingaku. Aku tersentak dari lamunan. Kulihat Krishna menatapku gelisah. Untuk beberapa saat aku terdiam, mengumpulkan kesadaranku yang entah untuk berapa lama terserak.

“Eh... Aku baik. No need to worry.” Aku tersenyum, meski tahu pasti terlihat dipaksakan.

“Nggak Tha, tidak biasanya kau begini.” Khrisna menggeleng-gelengkan kepala. “Sudah beberapa hari ini kulihat kau lebih pendiam. Seperti ada yang kau pikirkan.”

“Aku baik-baik saja, hanya kecapekan. Banyak pasien di Rumah Sakit.” Elakku, lalu kuaduk-aduk orange juice untuk mengalihkan kegelisahanku. “haruskah aku bilang padanya kalau aku ketemu lagi dengan Radheya, cinta pertamaku?” bathinku gusar.

“Ayolah Tha, aku tahu kau tidak baik-baik saja.” Wajahnya serius.

Aku menghela nafas. Mencoba bersikap tenang.

“Krish, kau masih ingat tentang Radheya yang pernah aku ceritakan dulu?” tanyaku ragu-ragu.

“Iya, lelaki yang pernah mengisi hatimu.” jawabnya tenang. “Memangnya ada apa dengannya Tha?”

“Selasa kemarin aku tak sengaja bertemu dengannya di Rumah Sakit. Dia sudah kembali ke kota ini. Menjadi pastor untuk gereja St Laurensia.” Aku menatapnya gelisah, kugigit bibirku. “Sejak pertemuan itu, kenangan tentangnya kembali muncul. Aku takut Krish. Aku takut rasa itu tumbuh kembali.”

Krishna meraih tanganku, jemarinya mengusap-usap punggung tanganku. Hal itu sedikit menenangkan aku. Sorot matanya melembut. “Kau tahu Tha, setiap orang mempunyai masa lalu. Kita semua memiliki kenangan akan sesuatu yang pernah mengisi hidup kita dan aku rasa itu wajar. Yang menurutku tidak wajar adalah ketakutanmu yang berlebihan.”

Aku menunduk. Dalam hati aku membenarkan ucapannya.

“Aku tahu itu sulit, karena dia pernah menjadi yang paling istimewa di hatimu. Tapi itu kan dulu. Yang ada saat ini adalah dirimu yang sekarang.” Ujarnya meyakinkanku, “Kau punya kehidupanmu sendiri begitu pula dia. Dia sudah menemukan kebahagiaannya dengan menjadi dia yang sekarang, yang mengabdikan diri di jalan Tuhan. Begitu pula kau Tha, kau pun menemukan kebahagiaanmu sendiri, yang kuharap itu bersamaku.”

Aku mendongak. Kutatap wajahnya. Mataku beradu pandang dengannya, tak ada ragu di sana. Teduh dan tenang.

“Kau benar Krish. Aku harus bisa melupakannya.”

“Bukan melupakannya Tha.” Krishna meralat ucapanku. “Kenangan itu akan selalu ada di hatimu sampai kapanpun. Yang bisa kau lakukan adalah mencoba berdamai dengan hatimu Tha. Yakinkan dirimu bahwa Radheya hanyalah bagian dari masa lalumu.”

“Ingatkan aku kalau aku mulai goyah.” pintaku padanya.

“Selalu. Aku akan selalu mengingatkanmu sampai kau benar-benar yakin.”

“Makasih Krish. Kau sangat mengerti aku. Seharusnya aku tidak melibatkanmu dengan masalah ini. Maafkan aku.”

“Jangan sungkan Tha. Kau mempunyai aku, ingat itu.”

Krishna Diptaraya. Lelaki yang dua tahun terakhir mengisi hatiku. Yang mengajariku mengeja cinta dan makna setia, yang selalu menemaniku merajut mimpi dan berbagi sepi.

“Kau tidak marah padaku kan?” tanyaku hati-hati.

“Kenapa musti marah?.”

“Kau tidak cemburu kan Krish?” tanyaku lagi. Memastikan.

“Gadis bodoh. Untuk apa aku cemburu,” ucapnya tak sabar, mulutnya menahan tawa “Kau lupa ya? Bukannya Radheya itu pastor. Jadi dia nggak berhasrat padamu Sayang.”

Kali ini tawanya pecah. Bahunya terguncang. Tangannya mengacak poni rambutku dengan gemas. Kurasakan mukamu memanas setelah aku menyadari pertanyaan bodohku itu. Akupun ikut tertawa bersamanya.

“Oiya Krish, dia mengundang aku misa minggu besok. Kau mau menemaniku?” tiba-tiba aku teringat undangannya.

“Pasti. Aku akan menemanimu. Aku juga penasaran dengan sosok bernama Radheya itu. Semoga dia tidak lebih ganteng daripada aku.” Ucapnya setengah menggoda. Matanya mengerling padaku. Aku tergelak melihat tingkahnya.

Krishna. Dia selalu saja bisa membuatku tertawa. Membantuku melupakan kegelisahan dan kesedihanku. Aku tak tahu, apa jadinya aku tanpanya.


- & -

Jam tanganku menunjukkan pukul 7.30 WIB ketika aku dan Krishna tiba di gerbang gereja St. Laurensia, kemudian Krishna langsung mengarahkan mobilnya ke lapangan parkir yang terletak di sebelah kiri gereja. Untuk kesekian kalinya aku menarik nafas panjang, berharap bisa meredam detak jantungku yang melaju kencang.

“Jadi ikut misa kan Tha?” suara Krishna memecah kebisuanku setelah beberapa saat kami terdiam di jok masing-masing. Aku mengangguk ke arahnya.

Kemudian kami turun. Krishna menggenggam tanganku dan kamipun melangkah bersama. Kulihat wajahnya tenang dan senyum tipis tak lepas dari bibirnya, sesekali dia menengok ke arahku. Seperti memastikan aku tak berbalik arah. “Kenapa aku harus risau akan kenanganku, sementara aku sekarang memiliki Krishna yang selalu mengisi hidupku. Yang akan selalu bersamaku menyongsong hari esok.” Kupererat genggaman tanganku. Krishna menengok ke arahku dengan penuh tanya. Aku tersenyum penuh arti ke arahnya.

Memasuki gereja, suasana terasa khidmat meskipun misa belum dimulai. Masih ada beberapa bangku yang belum terisi. Aku dan Krishna mengambil tempat di deretan tengah yang kebetulan kosong. Ruangan dalam gereja begitu luas dengan pilar-pilar yang menempel di dinding dengan patung Santa di atasnya. Kemudian relief timbul peristiwa-peristiwa jalan salib juga tergambar di sekeliling tembok bagian dalam gereja. Salib utama berukuran besar dengan tubuh Yesus yang disalib tergantung di tembok tengah altar, sementara bangku kayu cokelat tua dengan bantalan untuk berlutut dan tempat peletakan sakramen serta sakristi berada pada permukaan yang lebih tinggi dari altar di belakang.

Di sebelah kiri altar, pemberkatan sebelum misa kepada para putra-putri altar dan para petugas liturgi agar misa berjalan dengan baik sudah selesai. Kemudian para pelayan Sabda itu menempatkan diri ke tempat masing-masing sesuai dengan tugasnya. Dan saat itu kulihat sesosok Pastor berjalan memasuki mimbar. Dia, orang yang dulu pernah mengisi hatiku. Pastor Vincentius Damar Radheya.

“Bapa, kumohon kuatkan hatiku.”

- & -


Jakarta 2009

Puisi bagimu

adalah lelehan airmata,
kian kuat mengakar
di retak pijakmu


(2009)

Kota Kita ; Kata

Kau pernah bercerita di satu senja yang hampir purna
tentang kota yang sangat ingin kau ke sana
kota yang selalu menerima siapa saja, jiwajiwa pengembara
tapi katamu kau tak ingin sekedar singgah, peziarah yang melepas lelah
kau ingin menetap, untuk berbagi sepi yang kerap
hinggap, terperangkap dalam hariharimu yang senyap

Akupun pernah menitipkan cemas di ujung nafas, menanti saat retas
tentang kota yang selalu muncul dalam mimpimimpiku yang ganjil
kota yang menyimpan kisah di setiap jengkal tanah, menoreh sejarah
aku juga tak ingin sekedar datang, berbincang lalu pulang
aku ingin menjejak nafas, mengalirkan airmata yang menderas
sebelum ruh terlepas dari tubuh, nadi terhenti, tak bergerak

Kau dan aku. kita merindu
kota yang sama, kata


(2009)

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP